Cerpen DHIPA GALUH PURBA
SEKS. Gadis seksi tetanggaku.
Aku pun kurang paham, kenapa orang tuanya memberi nama seperti itu. Apakah mereka tidak mempertimbangkan dulu baik-buruknya. Setidaknya mencari tahu dulu tentang arti nama tersebut. Atau mungkin juga mereka penganut paham William Shakspeare—what is in a name—sehingga tidak peduli lagi pada urusan nama anak gadisnya. Namun tetap saja keterlaluan. Celeno siah! Sontoloyo! Belegug!
Apapun namanya, ia sempat melempar kedipan kecil di warung kopi Mang Ujay. Waktu itu, aku tengah (sebut saja) sarapan pagi di warung Mang Ujay. Ya, sarapanku memang hanya sebangsa bala-bala, gehu, plus segelas air kopi—tetap kuberi nama sarapan pagi. Disamping sudah menjadi tradisi sejak kecil, ditambah lagi letak warung Mang Ujay yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Sehingga hampir tiap pagi, aku selalu datang lebih awal ke warungnya. Tak jarang, akulah yang suka membangunkan Mang Ujay.
Ketika aku sedang mengafresiasi kenikmatan goreng bala-bala, gadis itu tiba-tiba datang dan duduk di sampingku; mengenakan kaos ketat dan rok mini, satu jengkal di atas lututnya. Tentu saja kedua mataku secara replek pula mencuri pandang ke arah wajahnya. Tampak matanya masih merah, seperti yang baru bangun tidur. Namun permukaan wajahnya sudah ditebali make-up. Tidak ketinggalan, hidungku segera melaporkan semerbak aroma yang menyengat.
“Mau bikin kopi, Non?” tanya Mang Ujay, seraya mengambil gelas dari rak.
“Gelas kecil aja, Mas. Pakai susu dikit. Oh ya, mas, di sini jualan jamu rapet ayu, nggak?” suaranya begitu nyaring dan bernada tinggi, membuatku tersentak. Di balik kenyaringan itu juga, seakan-akan aku mendengar suara desahan sensual yang merayu-rayu.
“Ya enggak atuh, Non. Ini mah warung kopi, bukan tempat berjualan jamu. Ada juga STMJ, mau?”
“Nggak ah,” jawabnya sambil menggelengkan kepala. Kemudian menoleh ke arahku dengan tatapan mata sayu. Tentu saja aku segera memalingkan muka ke arah Mang Ujay dengan hati berdebar-debar. Betapa tidak? Di saat ia menatapku, kulihat mata kirinya sengaja membuat kedipan kecil. Entah sekedar penglihatanku, atau memang begitu adanya.
“Sendirian?” tiba-tiba ia menyapaku. Aku hanya mengangguk saja, sambil menyembunyikan rasa kaget. Lagi-lagi, belum sempat rasa kagetku hilang, gadis itu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Tampak untaian senyum menebar dari bibir merahnya. Kulihat juga di balik bibir merahnya, ada gigi-gigi putih berkilatan.
“Namaku Seks,” ucapnya.
“Seks?”
“Kau kaget, ya? Apakah namaku melanggar Undang-Undang Anti Pornografi? Aku tidak bercanda, namaku memang itu, tidak kurang-tidak lebih. Seks adalah kata yang indah, dan aku bangga dengan panggilan itu. Namamu?”
“Panggil saja Ajag,” jawabku, jujur.
“Ajag? bukankah itu nama anjing hutan yang sangat buas?” ia tertawa cekikikan sambil menjawab sendiri pertanyaanna. “Tapi kau tidak kelihatan buas. Kau sangat romantis. Di mana kau tinggal?”
“Di belakang rumahmu,”
“Jadi kau anak tukang nasi goreng itu?”
“Ya, emangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa, cuma nanya aja koq. Sangat disayangkan aja, kita ini tetanggaan, tapi gak saling kenal. Padahal dalam hidup ini seharusnya tidak ada dinding pembatas…”
“Kau masih kuliah kan?” kucoba mengalihkan arah perbincangan.
“Buat apa kuliah. Aku lebih tertarik ngadain penelitian tentang seks. Ternyata seks itu indah. Sangat indah, seperti namaku!” jawabnya.
*
AKU menatap rumahnya yang megah. Setiap sore, gadis itu muncul di lantai tiga. Berdiri mematung, melemparkan pandangannya ke arah yang jauh. Sehingga aku mulai mengira-ngira; mungkin ia sedang dihantui rasa rindu pada seseorang; menanti kebahagiaan, dalam sepenggal harapan yang hampir sirna.
Sementara itu, ayahku tengah menyiapkan dagangannya untuk nanti malam. Aku masih duduk di kursi tua sambil menikmati secangkir kopi, menghisap rokok kretek kesukaanku, sambil menatap lantai tiga rumah megah.
“Hai, Ajag! kau taruh di mana botol kecap itu?” tiba-tiba ayah membentak.
“Mungkin masih di dapur, Beh!” kataku, agak kaget juga. Lamunanku serentak menjadi buyar. Kupalingkan mata ke arah gelas kopi.
“Tidak ada, Ajag! Lagi pula ngapain kerjamu hanya ngelamun? apa kau masih memikirkan kuliahmu yang gagal itu? Sudah kukatakan berkali-kali, lebih baik kau jualan nasi goreng saja! Kuliah di sana, kuliah di sini, gak ada satu pun yang tamat!”
“Aku tidak punya bakat kuliah, Beh,”
“Apa kau bilang?!”
“Euh… maksudku, aku gak punya bakat untuk jualan nasi goreng!”
“Lalu bakatmu apa? Main sinetron?!”
“Sudahlah, Bang. Si Ajag kan sedang stress!” ibu tiri datang. “Botol kecapnya sudah aye siapin!” ucapnya lagi.
Stress adalah kata yang sudah basi. Selalu diucapkan ibu tiri, kalau ayah sedang marah. Keluarga kami memang sangat sarat dengan stress. Terlebih lagi, di tengah kehidupan ekonomi yang kian lama makin terpuruk, tiba-tiba ayah berniat untuk kawin lagi. Ibu tiri akan dimadu. Kesimpulannya, jika niat ayah kesampaian, maka aku akan mempunyai dua ibu tiri.
Ayah memang haus perempuan. Setidaknya ia sudah tujuh kali menikah dan lima kali bercerai. Aku sendiri dilahirkan dari istrinya yang ketiga. Ibuku meninggal karena serangan kanker (menurut tetanggaku, kanker itu kambuh, akibat ayah yang saat itu mau kawin lagi). Bagiku tidak ada pilihan lain, kecuali mengikuti ayah. Berganti ibu tiri, berganti rumah kontrakan.
“Hai, anak stress! Ngapain lu dari tadi ngelihatin rumah itu? Apa lu tidak takut ketularan penyakit korupsi?” bentak ibu tiri sambil masuk ke rumah. Sebut saja rumah, walau ukurannya hanya setengah garasi rumah Seks.
DI warung kopi Mang Ujay, seperti biasa aku menikmati mie rebus. Sampai hari ini, aku tak pernah mempermasalahkan ibu tiri yang tidak pernah menyediakan makanan untuk sarapan pagi. Padahal sarapan pagi itu sangat penting. Namun aku mencoba tidak berprasangka buruk. Memang setiap jam delapan pagi, ayah masih meringkuk di kamarnya, dan ibu tiri sudah pergi menunaikan tugas sucinya, memeras keringat di pabrik tekstil.
Gadis itu muncul lagi. Aroma harum kembali menebar, memenuhi sudut-sudut ruangan warung Mang Ujay. Rok mininya makin tinggi, mungkin satu jengkal seperempat di atas lututnya. Bibirnya pun kian merah. Dan aku tidak lagi merasa canggung untuk berhadapan dengannya. Kami memang sudah akrab, karena hampir setiap pagi selalu bertemu di warung Mang Ujay. Seperti biasa, ia memesan kopi dengan sedikit susu.
Hampir setiap pagi juga, gadis itu membual dengan bahasa yang vulgar. Pembicaraannya seputar seks, tidak pernah selesai. Sebenarnya aku sudah muak mendengarnya, bahkan merasa jijik. Kurang pantas rasanya, persoalan pribadi seperti itu diceritakan oleh wanita belia yang belum menikah.
Ketika setiap sore Seks muncul di lantai tiga, aku melihatnya sebagai gadis yang ayu, jarang bicara, dan memendam kerinduan begitu mendalam. Namun di warung Mang Ujay, aku seperti berhadapan dengan PSK yang tengah menjajakan harga dirinya.
“Hai, Ajag, kau tahu nggak, seks itu indah?” katanya. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Berbicara masalah seks, kadang-kadang kita terjebak pada permainan ranjang. Tidak juga sih, seks itu bukan berarti ranjang. Seks itu artinya jenis kelamin. Maka dari itulah seks sangat rahasia dan sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Kau tahu, mengapa orang-orang Tiongkok mendalami ilmu hubungan seks? Karena …”
“Mang, tambah lagi setengah…” aku menyodorkan mangkok.
“Mana ada, mie rebus setengah. Gak bisa. Ntar yang setengah lagi, buat apa?” Mang Ujay mengerutkan keningnya.
“Mempelajari seks itu penting, Ajag. Seperti kau makan mie rebus tiap pagi. Tapi mengapa ya, sebagian orang selalu menutup telinga, ketika seseorang berbicara tentang seks. Padahal kita perlu mempelajarinya, seperti juga anak-anak yang belajar berhitung. Eh, Ajag, terkadang seks dibuat jahat dan menyeramkan. Kau tahu siapa pelaku kejahatan seks?”
“Berapa, Mang? Ditambah kerupuk tiga, bala-bala empat, gehu satu!”
TIDAK seperti biasanya, gadis di lantai tiga itu menatap ke arahku. Agak jauh memang, tapi aku melihat ada kesunyian di balik tatapannya. Kami saling bertatap mata. Kulempar sebuah senyuman manis, tetapi sayang ia tidak membalasnya. Sialan. Seks, mengapa namamu seperti itu? Mengapa kau dilahirkan di tengah keluarga orang kaya? Sedangkan aku terlahir dari keluarga yang sangat sengsara?
Sore itu ayah membawa istri mudanya. Agak cantik dan cukup bahenol. Namun kelihatannya sangat pemalas. Lihat saja, ketika mereka mau memasuki rumah, ayah diminta mencopot sepatunya. Aku hanya menoleh sebentar, kemudian menatap lagi rumah megah itu. Seks telah menghilang. Entah ke mana.
Ibu tiri tua baru pulang dari pabrik. Sebelumnya ia menyetujui rencana ayah untuk menikah lagi. Alasan ayah memang cukup jelas dan masuk akal; ibu tiri tua tidak bisa memberi keturunan. Dan waktu itu, ayah memberi pilihan: Mau dicerai, atau dimadu? Ternyata ibu tiri tua masih tertarik pada nasi goreng masakan ayah, sehingga ia memilih untuk dimadu.
Namun apa yang terjadi? Pertengkaran ronde pertama sudah dimulai. Sore itu aku mendengar suara gaduh, percekcokan, diakhiri dengan suara barang pecah. Ibu tiri tua menjerit-jerit. Kulihat ia ke luar, membawa seluruh pakaian, dan menangis sembari mengeluarkan sumpah serapahnya. Sejak itulah, ibu tiri tua tidak pernah kembali.
“AJAG, kau pernah membaca buku Shu Ni Jing?”
Aku menggeleng.
“Seni permainan ranjang ada di situ. Orang-orang Tiongkok memang piawai dalam bermain seks. Kamasutra juga menurutku cukup baik. Bukan saja sekadar pengetahuan, tetapi kita bisa bertukar pengalaman seks dengan bangsa lain.”
Aku melihat pakaian gadis itu semakin transparan. Demikianlah, sehingga aku dan Mang Ujay dapat melihat apa yang ada di dalamnya. Namun aku malah jijik, dan mie di mulutku hampir tidak bisa kutelan.
“Seks, apa kau tidak bisa ngomong selain masalah seks? Mungkin kehidupanmu yang hedonis itu akan lebih menarik perhatianku,”
“Apa? Kau bilang aku hedonis? Mengapa kau beranggapan seperti itu?”
“Karena kau orang kaya. Dan orang kaya biasanya hanya mencari kesenangan!”
“Tidak, Ajag. Hubungan seks juga dapat dinikmati oleh orang miskin. Orang miskin dan orang kaya, tidak ada yang melarang untuk bermain seks. Termasuk kau dan aku. Orang lain sudah muak mendengar kata-kata seks, Ajag. Kecuali kau. Aku ingin kau menjadi pendengar setia, dan setiap pagi aku akan menyuguhkan cerita seks yang berbeda,”
“Bukankah seks itu masalah pribadi?”
“Tentu, tapi perlu juga diceritakan. Kau tahu, saat ini koran-koran sudah menutup rubrik konsultasi huungan seks. Dan situs-situs kesukaanku di internet sudah tidak beroperasi lagi. Lihat di setiap lampu stopan, baner anti-seks dipasang besar-besaran. Aku jadi bingung, kepada siapa akan keceritakan persoalan seks yang mendalam ini? Hanya kau, Ajag. Kau yang harus mendengarkannya!”
“Apakah lelaki yang haus perempuan dan bergonta-ganti istri, padahal ia bukan dari golongan keluarga mampu, dapat disebut pelaku kejahatan seks?”
“Nah, kau mulai tertarik, bukan? Aku suka sekali kau bertanya tentang seks. Begini, Ajag …”
DI rumah sumpek ini, aku sering mendengar tawa manja ibu tiri muda. Genitnya bukan main. Bukan, bukan pada malam hari, tetapi ketika aku sedang duduk di kursi tua. Tawa manja itu menggangguku. Sialan, sontoloyo, setan! Konsentrasiku untuk menatap gadis di lantai tiga, sempat buyar.
Gadis itu semakin ayu. Ia begitu manis dan lembut. Ketika ia berdiri di balik jendela kamar, siluet tubuhnya membentuk bayangan indah, dengan komposisi simetris dari atas sampai bawah. Tampaknya ia tidak suka bicara. Dan tatapannya itu, entah singgah di mana. Kerinduannya pada seseorang, tampak semakin mendalam. Seks. Bukankah gadis itu Seks? Penjaja cerita seks di warung kopi Mang Ujay? Atau…mungkin gadis lain? Tapi menurut Mang Ujay, di rumah megah itu tidak ada lagi sosok gadis, selain Seks. Bapak Kornagara, sang empunya rumah, hanya mempunyai seorang anak dan tiga istri (dua istri lainnya disimpan di villa, dan kabarnya tidak pernah diceritakan kepada istri tua).
“Hi hi hi…!” Suara ibu tiri muda, benar-benar menggangguku. Apalagi yang dikerjakan ibu tiri muda itu. Tawa manjanya semakin genit. Dan ayahku kemana? Biasanya ia menyiapkan dagangan untuk nanti malam. Roda nasi goreng masih kosong. Oh, ya, mungkin ayah belum bangun.
Setiap sore aku duduk di kursi tua. Gadis itu muncul di lantai tiga, menatap entah kemana, dan tawa manja ibu tiri muda terus mengganggu konsentrasiku. Saat itu, ayah tidak sedang menyiapkan dagangan. Roda nasi goreng masih kosong.
SUATU hari yang tak begitu indah. Langit mendung, menghitam. Aku tengah menikmati mie rebus dengan agak lahap. Mang Ujay sudah meninggal dunia, dan kini warungnya diurus oleh cucunya. Ayah juga sudah meninggal dunia, setelah puluhan ibu tiri muda tertawa manja setiap sore, di saat aku tengah menatap lantai tiga; dan saat tawa manja terdengar, ayah tidak sedang menyiapkan dagangan. Ketika ayah meninggal dunia, hanya mewariskan roda nasi goreng. Setiap malam aku mendorongnya, setelah duduk sebentar di kursi tua.
Mie rebus sudah hampir habis, ketika seorang nenek masuk dengan gigi ompongnya. Olala, aku terkejut bukan main, mengapa nenek itu mengenakan baju transparan dan rok mini, satu jengkal setengah di atas lututnya?
Ia duduk di hadapanku.
“Hai, Ajag…” katanya. “Kau tahu bahwa seks itu indah?”
Aku diam. Aku baru ingat, bahwa nanti sore harus duduk di kursi tua dan menatap ke lantai tiga rumah megah. Diam-diam aku jadi berpikir, kenapa aku tidak meminang gadis itu untuk dijadikan istri?
Cerpen DHIPA GALUH PURBA
Masuk ke Jalan Simpang Dukuh. Sampailah ke pesisian sungai Kalimas. Airnya mengalir dengan tenang. Tidak bening, malah kotor, namun pohon-pohon yang menghiasi sepanjang sungai, membawa suasana yang sejuk dan segar. Di sebrangnya pun terdapat sebuah taman bunga yang terlihat begitu indahnya. Walau malam hari, ditambah dengan mendungnya langit, tapi keasriannya tetap terlihat dan terasa. Lampu yang remang-remang di taman Kalimas, sepertinya masih dianggap terlalu terang. Sebab beberapa pasang manusia malah bersembunyi dibawah pohon yang cukup rindang, atau di tempat yang lebih gelap lagi.
Perlahan-lahan kakiku meniti sebuah gapura yang menjadi ujung jembatan Kalimas. Tatkala mataku melihat ke arah gapura, maka segera kubuang pandanganku. Sebab di dalam gapura ada sepasang manusia yang sedang asik memadu kasih, mengumbar asmara berlebihan. Tidak tahu malu. Padahal gapura itu tidak ada penutupnya. Dan yang pasti, semua pejalan kaki yang melintas jembatan ini, pasti akan melewatinya.
“Kirain bukan orang gila!” kata yang laki-laki sambil memeluk lagi pasangannya. Entahlah bagaimana kelanjutannya, sebab aku segera meneruskan lagi langkahku. Jembatan yang terbuat dari kayu, terasa bergoyang. Untungnya bukan sekali-dua kali, kedua kaki menginjak jembatan ini. Malah hampir tiap malam, aku berdiam diri di tengah-tengahnya. Sampai aku sudah merasa menjadi kuncen jembatan Kalimas.
Sayup-sayup terdengar suara adzan dari menara mesjid. Saling bersahutan dengan musik yang bergemuruh di petamanan. Gema adzan memenuhi sekitar Kalimas. Tapi kenapa manusia seperti yang tuli? Atau sengaja pura-pura tuli? Bulan puasa, tak ada bedanya dengan bulan-bulan lain. Siapa bilang kalau setan-setan diikat kaki dan tangannya oleh rantai. Setan yang mana? Setan hantu gentayangan atau setan yang suka berbisik pada setiap dada manusia? Soalnya suara adzan malah dijawab oleh kentut knalpot motor dan mobil di jalan raya. Klakson pun lebih keras lagi dibunyikannya. Wanita centil memperlihatkan pahanya. Om-om banyak duit makin asik memeluk wanita muda. Si tante yang keriput kulit mukanya, semakin mesra bersandar di dada pemuda yang menukarkan keimanannya dengan sepasang sepatu.
Seperti malam-malam sebelumnya. Aku hanya duduk atau berdiri di tengah-tengah jembatan ini. Melemparkan pandangan sejauh mungkin. Bagaikan menerobos berjuta kenangan yang pernah kujalani. Dalam setiap saat, aku ingin bercermin lagi ke masa yang lampau. Memang Wajar jika aku dikategorikan sebagai orang yang tak punya harapan. Kuakui itu. Tapi apakah aku pantas disebut orang gila? Padahal aku masih normal. Aku masih mengenal siapa diriku. Bahkan aku juga tahu tempat yang menjadi menjadi kediamanku hampir setiap saat ini.
Malam ke-27 bulan puasa. Tak ada yang berubah di jembatan Kalimas. Ketika kulempar pandanganku ke sebelah utara, masih terlihat megahnya gedung Studio East. Begitu pun di sebelah selatan, gedung BCA yang mencakar langit masih nampak. Sebelah barat dan timur, dua gapura yang menjadi ujung jembatan. Gapura yang hampir tiap malam dihuni oleh sepasang manusia yang mengikuti ajakan setan.
Sebenarnya aku pun suka melaksanakan ibadah puasa seperti halnya para pemeluk agama Islam lain. Sayangnya aku tidak pernah melaksanakan sholat tarawih di mesjid atau di surau. Hal itu dikarenakan aku suka diusir. Memang Wajar. Aku memaklumi hal itu. Pantas saja kalau aku dianggap orang gila. Terutama karena pakaianku yang rombeng, kumal, dan compang-camping. Menghiasi tumbuhnya bulu-bulu yang hampir menutupi sebagian besar wajahku yang tidak terurus. Aku pun bukannya tidak mampu atau tidak ingin seperti orang lain. Namun keadaanlah yang memaksaku untuk menjadi seperti ini.
Terlunta-lunta di kampung orang, mungkin itulah pendek katanya. Genap sudah satu tahun, aku berjalan tiada terarah. Masih tercatat dalam ingatanku, ketika aku berangkat meninggalkan kotaku. Waktu itu tepat sekali bersamaan dengan hari ke-26 bulan puasa. Sebab pada malam ke27, aku sudah tak sanggup lagi menahan beban peraasaan yang bergemuruh dalam dada. Malam ke-27 pada lima tahun yang lalu, aku punya kenangan yang sulit bahkan tidak mungkin untuk dilupakan. Keberangkatanku dari kota kelahiranku, Bukanlah pergi dengan tanpa tujuan. Bagaimanapun juga, aku punya niat dan keinginan yang bulat. Aku sedang mencarinya. Dia, yang pergi meninggalkanku. Dia, yang pernah kusakiti hatinya. Dia, yang sekarang entah ada di mana.
Menurut kabar dari kakaknya, dia mengembara di kota ini. Sayangnya aku tidak tahu alamat jelasnya. Sudah kucari dan kuselusuri sampai ke pesisian, tetap saja belum kutemukan. Sampai pada akhirnya bekalku pun ludes sama sekali. Yang membuatku tak bisa pulang lagi ke kotaku. Selain tidak punya ongkos, ditambah lagi oleh kebulatan rekadku. Daripada aku pulang tanpa dia, lebih baik aku tidak pulang sama sekali. Pernah suatu waktu, aku hampir menemukannya. Ketika kumasuki jalan Doli, aku melihat seorang wanita yang mirip sekali dengannya. Setengah tidak percaya dari sejak awalnya juga, Sebab wanita itu berada dibalik etalase. Tentu saja untuk dijual kepada para laki-laki buaya. Tidak ada bedanya dengan menjual barang. Siapa saja yang ingin mencicipinya serta mau membayarnya, wanita itu siap untuk dibagaimanapun juga. Sudah pasti, yang tidak menggunakan etalase pun, bagaikan berjualan gorengan.
Kutatap Wanita itu. Kuteliti untuk lebih mengetahuinya. Dari mulai ujung rambut sampai ke ujung kaki. Malah tadinya aku ingin memegang pergelangan tangannya. Ingin kupastikan bahwa dibalik tangannya ada tahi lalat sebesar kacang hiajau. Tapi sayang, antara aku dan dia, dibatasaui oleh kaca penghalang. Malah gara-gara kaca itu pun, sepertinya dia juga tidak bisa melihatku. Cuek saja sambil menghembuskan asap rokok dari sela-sela bibirnya. Aku yakin, wanita itu bukan dia. Bukan. Sebab ada satu hal yang sangat berbeda dengan dia.
Aku tidak kehilangan akal. Dengan beberapa cara, aku mencoba untuk mencari tahu tentang asal-usul wanita dibalik etalase itu. Kebetulan ada seorang laki-laki yang bisa diajak berbincang-bincang. Hanya dengan sebatang rokok, dia pun mulai menceritakan wanita itu. Menurutnya, dia adalah Noni. Sudah hampir satu tahun menjadi penghuni tetap Jalan Doli. Kota asalnya tak ada yang tahu. Yang pasti, aku merasa tenang, sebab nama yang sedang kucari bukan…Noni. Ingin raanya aku berbicara dengan Noni secara langsung. Sayang sekali harganya tidak terjangkau oleh dompetku. Sebab semua orang tidak akan ada yang akan percaya kalau aku hanya ingin berbincang-bincang dengannya. Apa pun alasannya, aku harus membayar Noni berdasarkan tarifnya. Tentu saja aku hanya bisa menggigit jari, Sambil mataku tak lepas memperhatikan dan mengantarkan Noni, yang digandeng oleh seorang laki-laki setengah baya.
Berbincang-bincang dengan lelaki yang baru kukenal itu agak berkepanjangan. Malah dia menceritakan tentang Noni, yang dikenal sebagai wanita misterius. Entahlah, misterius di bagaimana. Aku tidak sempat mendapat jawabannya, sebab perbincangan pun keburu dibelokan ke berita yang sedang aktual di kotaku. kabarnya, di kotaku sedang geger dengan adanya kasus VCD porno sepasang mahasiswa. Kopi VCD itu sudah tersebar kemana-mana. Kemudian dibandingkan dengan VCD porno ‘Anak Ingusan’ yang kebetulan dibuat di kota ini. menurutnya, VCD porno di kotaku tidak sengaja diproduksi untuk diedarkan. Malah bisa dikatagorikan sebagai suatu musibah. Sedangkan VCD porno yang dibuat di kota ini, sengaja diproduksi untuk dijual. Malah pemainnya juga kabarnya didukung seorang WTS yang sudah profesional. Benarkah di kotaku ada kejadian seperti itu? Kalau benar, saya sungguh merasa malu. Malu oleh Tuhan, juga malu oleh pemainnya. Sebab kelakuanku sebelumnya, malah lebih dari itu. Bedanya, kalakuanku tak ada yang memergokinya. Hanya Tuhan yang tahu. Haruskah aku juga mengatakan kepada semua orang tentang perbuatanku? Tentang yang pernah kulakukan dengan Iseu, Apon, Rostika, Enur, Titin, Kiki, Ida, dan lain-lain. Yang pasti, aku merasa lebih bejat dibanding pemeran VCD porno di kotaku. Sumpah.
Masih di jalan Doli, aku mendapatkan musibah yang sulit untuk kulupakan. Tak kusangka, ternyata lelaki yang mengajakku berbincang-bincang itu adalah seorang laknat. Dengan menjanjikan untuk mempertemukanku dengan Noni, aku dibawanya ke tempat sepi. Ternyata semua itu hanya akal-akalannya saja. Sebab pada akhirnya aku tidak berkutik ketika cluritnya hinggap pada leherku. Semua uangku dirampasnya, termasuk baju dan celanaku satu-satunya yang sedang kupakai. Sungguh, aku hanya mengenakan kolor saja. Sehingga dengan terpaksa, mau tidak mau aku harus memungut pakaian dari tempat sampah. Walau rombeng dan bau, aku harus memakainya. Tak heran kalau semua orang menganggapku orang gila. Padahal aku tidak merasa gila. Tidak. Aku tidak gila. Aku hanya mengakui kalau aku tergila-gila olehnya.
“Punten!” tidak kusadari datangnya. Seorang wanita telah melewat ke depanku. Tentu saja aku merasa kaget. Selain jarangnya ada yang berkata seperti itu, ditambah lagi dengan orangnya. Dia. Dia adalah wanita yang selama ini sedang kucari. benar, walau hanya terlihat punggungnya, tapi aku tak akan salah melihat. Tidak salah. Dialah yang selama ini kucari. Dia… Dewi. Dewi.
“Dewi! Antosan, Wi!” aku berteriak memanggil namanya. Dan dia pun menghentikan langkahnya. Lalu membalikan tubuhnya. Matanya menatapku dengan tajam.
“Dewi, ieu abdi, Darma!” kataku, ingin meyakinkannya. Benar, dia seperti yang terkejut. Malah dia pun kemudian berjalan menuju ke arahku. Jembatan Kalimas bergoyang, bersamaan dengan jantungku yang berdetak semakin cepat.
“Darma?” dia bertanya sambil matanya tiada henti menatap wajahku.
“Muhun, Darma, Wi. Hampura abdi, Wi. Abdi tos tobat. Moal kagoda deui ku sasaha oge. Hayu urang uih ka lembur, Wi!” tanganku berusaha untuk memeluk tubuhnya. Tapi sungguh mengagetkan, ternyata dia menghindar, bahkan menghempaskan tubuhku.
“Didinya teh sahana didieu? Sangeunahna pisan hayang nangkeup didieu. Sanajan sarua ti Jawa Barat, tapi lain hartina didinya bisa kikituan jeung didieu,” katanya dengan nada yang marah. Bersamaan dengan itu, hujan pun mulai turun. Kilat mempotret rona wajahnya, beradu dengan suara petir yang bergemuruh.
“Dewi?!” aku ternganga. Tak percaya pada setip kata-katanya.
“Didieu lain Dewi. Didieu mah nyampeurkeun soteh, pedah ngadenge didinya anu bahasana sarua jeung bahasa didieu,” katanya sambil membuang wajahnya ke sebelah utara.
“Dewi, kawasna dosa-dosa abdi kalintang ageungna. Kasalahan abdi dugi ka moekeun hate Dewi. Abdi rumaos, Wi. Abdi kacida hanjakalna tos ngaraheutan hate Dewi. Tos aya kana sataunna, abdi kalunta-lunta milarian Dewi. Abdi jangji, bakal ngarobah sagala kalakuan abdi. Hayu, Wi, apan Dewi teh hoyong sasarengan saur, sareng buka puasa seuih. Urang papag dinten boboran, ku urang duaan. Abdi tos meser acuk kanggo Dewi. Di Bandung, abdi tos muka usaha kana konstruksi rangka beton,” aku mencoba untuk mengingatkannya.
“Keun, isuk atawa pageto, didieu rek ngabantuan neangan anu ngaranana Dewi.” Malah seperti jawabannya, sambil melirik ke arah gapura. Disana seorang laki-laki sedang berdiri sambil bertolak pinggang. Entah sudah berapa lama, dia berdiri di sana.
“Noni! Cepetan, dong. Ngapain bicara sama orang gila!” lelaki itu berteriak. Tiba-tiba dia tertegun beberapa saat. Lalu berbalik memandang wajahku. Dia menghampiri laki-laki itu dengan tergesa-gesa.
“Siapa yang bilang suamiku orang gila, hah?!” katanya sambil mencengkram kerah bajunya. Kemudian dia mendorong tubuh lelaki itu ke arah jembatan. Membuat aku kaget. Kaget bercampur dengan keharuan yang tiada hingganya. Kebahagiaan yang selama ini kucari pun, rasanya sudah mulai menghampiri.
“Apa-apaan ini, Non! Kamu juga jadi gila, yah!” begitu kata lelaki itu, sambil berbalik mencekik leher Dewi.
“Kang Darma!” dia berteriak memanggil namaku. Diiringi makin derasnya hujan. Benar. Dia memanggil namaku. Ya Tuhan, dia memanggil namaku.
“Dewiiii…!” aku berteriak sambil berlari ke arahnya. Tapi secepat kilat, tubuh Dewi didorong oleh laki-laki itu. Byuuur…, dia terjatuh ke sungai Kalimas yang airnya sedang meluap. Sekilas, hanya kulihat gapaian tangannya.
“Dewiiiiii!” aku berteriak semakin keras. Beradu dengan suara petir yang semakin bergemuruh.
Ketika aku akan melompat ke sungai, tiba-tiba kedua tanganku ditarik. Bahkan selanjutnya mukaku terkena hantaman yang sangat keras. Aku berteriak sambil meronta-ronta ingin melepaskan diri. Tapi kakiku dipegangnya kuat-kuat. Malah aku diseretnya ke arah gapura.
“Kang, tulungan! Uang mudik sa…!” terdengar suara parau Dewi, dan… terputus. Entah bagaimana nasibnya. Aku tak berdaya, sebab aku tidak kuasa menahan kegarangan orang yang menyiksaku. Apalagi ketika kepalaku dibenturkan ke tembok. Walau aku berusaha untuk melawannya, tapi tenaganya lebih kuat. Sia-sia saja. Sampai pada akhirnya aku terkulai di dinding gapura. Tak ada kekuatan apa-apa.
“Dewiiii!” suaraku tak akan bisa mengalahkan suara hujan dan petir. Lelaki yang menyiksaku telah berlari, entah kemana. Tapi suara Dewi pun sudah tak terdengar lagi. Darah dari sekujur tubuhku mengalir terbawa air hujan, sebagian ada yang tercampur dengan air Kalimas, menyusul Dewi yang hilang lagi, entah kemana.
SAJADAH OH SAJADAH
Sajadah. Barang yang hanya berupa lembaran kain dengan berbagai motif dan bahan itu begitu menyita pikiran Husna. Terutama ketika hendak pergi tarawih. Bagi kebanyakan orang sajadah adalah sebuah kemestian ketika hendak melakukan sholat. Entahlah, rasanya kurang lengkap kalau sholat, apalagi di masjid tanpa menggunakan sajadah. Padahal sebagian masjid telah menyeddiakan karpet yang bagus dan mahal. Tapi tetap saja sajadah seolah menjadi kebutuhan tersendiri. Entah sekedar trend atau apalah.
Husna tidak menyalahkan. Memang sajadah adakalanya sangat membantu Husna ketika sholat maupun saat setrika karena bisa dijadikan alas. Tetapi kali ini Husna memang harus berpikir puluhan kali ketika akan menyertakan sajadah untuk tarawih di masjid dekat tempat kosnya. Kebiasaan barunya ini cukup menjengkelkan teman kosnya. Ke masjid selalu terlambat. Tepatnya seminggu setelah Ramadhan lewat.
“Husnaa.aa! Cepetan, ntar telat lagi, lho.” Teriak Nina dari luar kamar. Tak ada jawaban.
Klek! Pintu kamar terbuka dan wajah bulat Nina menyembul dengan balutan mukena dari balik pintu.
“Lagi ngapain, sih. Cepet! Ntar nggak dapat tempat lagi baru tahu rasa.” Husna menoleh sekilas. Pandangannya kembali tertuju pada sajadah biru yang terlipat rapi di tepi dipan. Membawanya berarti menyertakan beban berat berton-ton ke masjid. Tapi kalaupun ditinggal bukan berarti masalah akan selesai.
“Bawa…enggak…bawa…..enggak…bawa…” Husna menghitung kancing bajunya dengan serius.
“Kamu tuh mau tarawih apa enggak, sih? Ato mau berangkat sendiri?”
“Sebentar, dong.Lagi pusing, nih. Cerewet amat.”
“Pusing kok dipiara. Sampai kapan kamu akan diperbudak oleh sajadah itu?” Potong Nina tandas.
“Enak aja. Masa aku budaknya sajadah.” Tangan Husna langsung menyematkan mukena ke kepalanya.
‘Terus apa namanya? Kalau tiap hari selalu pusing dan jutek gara-gara sajadah. Aku bener-bener nggak ngerti dengan sikapmu yang aneh itu. Padahal kalau di rumah kamu nggak pernah mempermasalahkan sajadah. Giliran kemasjid bikin rebut serumah.”
Husna ragu-ragu menyentuh sajadahnya. Saat jemarinya hampir menyentuh bahan beludru itu, buru-buru ia menariknya. Nina berdecak sebal.
“Ya Allah, Husna. Kalau mau bawa ya bawa. Kalau enggak, ya enggak. Pusing amat!” Husna hanya membisu. “Udahlah aku berangkat duluan aja. Daripada menyaksikan orang yang sajadahphobinya kumat.”
“Kalau kamu berangkat duluan, aku akan tarawih sendiri aja di rumah.”
“Eh, masa gara-gara sajadah sampai nggak ke masjid. Ingat setelah tarawih nanti ada pertemuan Remas untuk membahas rencana rihlah adek-adek TPA.” Nina memperhatikan tetangga kamarnya dengan seksama. Wajah Husna benar-benar tampak bingung. Dengan sabar yang dipaksakan, akhirnya Nina menjajarinya di dipan. Ia tak lagi peduli dengan jarum jam yang terus bergerak kearah angka tujuh.
“Sebenarnya ada sih?” Husna menatap mata Nina sesaat. Kepalanya lurus lagi.
“Aku, malu.”
“Malu? Malu dengan siapa? Dan kenapa? Tumben kamu yang biasanya cuek bisa malu. Lebih sering kamu itu bersikap yang malu-maluin.”
“Aku serius, Nin!”
“Oke, oke. Tapi kenapa?”
“Yang pasti aku malu gara-gara sajadah itu.”
“Kamu nggak pede karena modelnya?” Husna menggeleng cepat.
“Modelnya kan sama kaya punyamu.”
“Atau baunya nggak enak karena lama nggak dicuci?” Nina bertanya tanpa ekspresi.
“Nih, cium. Wangi, kan?”
“Trus?” Husna mematung. Ia menimbang-nimbang. Ia yakin kalau Nina tahu pasti rekasinya menyebalkan. Dan Husna akan menjadi gossip nasional di tempat kosnya.
“Jangan-jangan itu sajadah curian dan ketahuan oleh pemiliknya.” Sontak Husna menoleh.
“Enak aja! Emang aku keturunan maling.” Mata Husna melotot galak.
“Atau jangan-jangan uang yang kamu pakai untuk membeli adalah hasil korupsi.” Mimik Nina dibuat seolah-olah serius.
“Heh, mikir dong kalau ngomong. Mana ada orang korupsi buat beli sajadah? Emangnya Allah bisa disuap dengan sajadah? Yang ada, korupsi buat beli rumah, mobil mewah dan jalan-jalan keluar negeri.”
“Yaa, kali aja ini lain.”
“Sudahlah, lama-lama kamu ngaco ngomongnya. Memang sebaiknya aku tarawih di rumah aja.”
“Eh, ingat tujuan kita. Kemarin kita bersepakat bahwa akan tarawih di masjid. Bukan hanya itu, kita pun tidak boleh mengambil tempat di shaf yang sama. Agar kita bisa membaur dengan remaja dan ibu-ibu yang lain. Katanya ingin membuat forum kajian untuk remaja dan ibu-ibu. Belum-belum sudah mutung. Kapan berhasil dakwah kita kalau seperti ini?”
Husna tersenyum dalam hati melihat Nina berkata sebijak itu. Dalam hati ia senang punya teman yang ceria dan baik seperti Nina. Meskipun sering iseng dan jail.
“Katanya kita ini sodara. Kalau ada masalah kan harus dipecahkan bersama. Apalagi kalu ternyata masalahnya bisa menghambat tujuan mulia kita.”
“Baiklah, tapi kamu harus berjanji satu hal.”
“Oke.”
“Kamu harus serius.” Nina mengangguk mantap.
* * * * * *
Awalnya Husna begitu senang membawa sajadah birunya ke masjid untuk sholat tarawih. Itu memang sajadah kesayangannya karena ia membeli dari hasil tabungannya saat SMU. Ia pun berharap sajadahnya bisa membawa berkah di awal bulan suci ini. Siapa tahu ada orang yang juga membutuhkan alas sholat. Kalau hal itu terjadi peluang mendapat pahala semakin banyak. Dan ternyata impiannya tidak percuma.
“Terimaksih, Dek. Tadi saya buru-buru ke masjid. Jadi lupa nggak bawa sajadah.” Seorang ibu setengah baya tersenyum ramah ketika membagi sajadah dengannya. Tapi rasa senang itu tidak berlangsung lama. Saat sholat mulai tampaklah sebuah permasalahan yang bagi Husna tidak bisa diremehkan. Shof sholat tidak rapat. Padahal Umar bin Khottob pernah merapikan shof dengan pedangnya karena begitu pentingnya shof yang rapat dan lurus agar tidak ada celah bagi syetan untuk engganggu selama solat.
Husna meyakini bahwa penyebab utama dari fenomena yang ada di depannya bisa jadi karena mereka tidak tahu betapa pentingnya shaf sholat yang rapat dan rapi. Dan kondisi itu diperparah dengan sajadah. Para jamaah sholat lebih memilih posisi di tengah sajadah masing-masing. Mereka tidak peduli sisa tempat yang akibat sajadah yangyang mereka bawa. Bahkan ada beberapa orang yang tanpa beban meletakkan sajadahnya sehasta di sebelah sajadah lainnya. Padahal kalau mau, tempat itu masih bisa diisi satu orang lagi. Tapi entahlah, sepertinya telah menjadi sebuah kesepakatan jika kesalahan dilakukan bersama maka statusnya kan berubah menjadi benar.
Sebenarnya sang imam selalu mengingatkan agar merapatkan dan meluruskan shaf sebelum sholat. Api seruan imam itu seperti angin yang berlalu begitu saja. Buktinya setiap hari kondisinya selalu sama. Dan Husna bertekad akan berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan yang ada. Baginya ini adalah peluang amal yang harus dimanfaatkan.
* * * * * *
Husna membalas tatapan sinis seorang ibu muda denngan senyum termanisnya. Ibu muda itu kelihatan dari orang yang cukup berada. Mukenanya jelas tergolong mahal, tapi sayang wajahnya tidak ramah. Kalau saja ia mau tersenyum sedikit saja, pasti kelihatan cantik. Mersa senyumnya tak berbalas, Husna mersa jengah juga dipandangi seperti itu.
“Ehm…, maaf, tante. Apa ada yang salah dengan saya?” Husna bertanya dengan hati-hati. Suaranya dibuat sepelan mungkin agar tidak mengganggu yang lain.
“Lho, nggak nyadar juga. Tampangnya, sih mahasiswa. Ternyata nggak tahu sopan santun.! Jawabnya pedas. Meskipun suara si Tante pelan tapi cukup membuat wajah-wajah di sekitarnya menoleh kearah mereka.
“Kenapa Anda nempel-nempel dekat saya? Seenaknya saja menumpuki sajadah saya dengan sajadah murahan! Ini sajadah mahal, saya beli di Arab waktu haji. Harganya mahal tau. Emang kalau lecek mau ngganti?” Muka Husna seperti disiram lahar gunung merapi yang baru meletus. Wajahnya memerah seperti tomat yang masak. Telinganya memanas, begitu pula matanya. Matanya segera terpaku pada sajadah biru yang menutupi sebagian sajadah si Tante. Dia melakukan semua itu karena ingin shaf shalat menjadi rapat. Apalagi posisinya yang ada di ujung paling kiri barisan membuatnya harus mendekat ke arah kanan. Tapi Husna benar-benar tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu.
Dengan cepat si Tante berdiri dan menyambar sajadah mahalnya. Ia bergegas ke barisan belakang meninggalkan Husna dalam sorotan mata dengan berjuta ekspresi. Ada ekspresi simpati karena kasihan, ekspresi gemes dan gregetan, ekspresi geli karena menahan tawa sampai yang cuek seolah tak terjadi apa-apa. Husna tidak lagi peduli dengan tatapan mata yang tertuju kepadanya. Yang ia rasakan cuma satu : malu.
* * * * *
Husna mulai berhati-hati bersikap karena tak semua niat baik berbuntut manis. Kali lain ia duduk di sebelah seorang gadis sebayanya. Sajadah gadis itu cukup lebar hampir separo sajadahnya. Setelah meminta ijin, Husna meletakan sajadahnya di bawah sajadah merah si Gadis. Husna menjelaskan alas an sikapnya pada si Gadis. Sambutan si gadis sangat baik terutama ketika Husna emnjelaskan tentang pentingnya shaf sholat yang rapid dan rapat. Tapi sambutan hangat itu segera lenyap ketika seorang nenek menghampiri mereka.
“Neng, kenapa sajdah saya dipake? Nenek itu baru belajar sholat dan harus pake sajadah biar nggak kedinginan. Masa baru ditinggal wudhu sebentar sajadah sudah lenyap. Di bulan suci begini kok ya masih sempat ngembat barang orang.”
Husna berusaha tersenyum dengan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
“Maaf, Nek saya dari tadi di sini. Dan ini sajadah saya. Mungkin Nenek lupa menaruh sajadah nenek. “ Husna menjaga kalimatnya dengan hati-hati. Gadis di sebelahnya meliriknya curiga.
“Kalau itu memang sajadah Neng, kenapa mesti disembunyikan di bawah sajadahnya?” tangan si Nenek menunjuk sajadahnya yang tertutup oleh sajadah si Gadis. Tiba-tiba si Gadis berdiri.
“Maaf, Mbak. Saya nggak mau sajadah saya dijadikan tempat menyembunyikan barang curian.” Husna ingin menjelaskan lebih jauh tapi si Gadis terlanjur pergi.
* * * * *
Tawa Nina hampir meledak. Ia tutup mulutnya agar tidak bersuara karena teringat pesan Husna. Setelah berhasil menguasai diri ia mulai bersuara .
“Kok nasibmu sial banget. Trus, si Nenek gimana?”
“Pas si Gadis pergi si Nenek baru sadar bahwa sajadahku memang berbeda, hanya mirip saja. Dia baru ingat bahwa sajadahnya dititipkan ke cucunya.”
“Ya udah mending nggak usah bawa saja.”
“Sudah kucoba kemarin.”
“Trus hasilnya?”
“Aku harus mencuci mukenaku kemarin.”
“Apa hubungannya?”
“Kemarin aku kan telat, terpaksa sholat di teras yang basah karena hujan. Dan tidak ada seorang pun yang membagi sajadahnya untukku.” Nina mendengus prihatin sekaligus salut dengan upaya keras Husna untuk mengubah budaya shaf yang tidak rapat.
“Ya, sudah. Kesepakatan untuk berpencar selama tarawih kita cabut saja dulu. Untuk shaf yang rapat sepertinya kita harus memberi contoh.”
“Maksudnya?”
“Kita sholat besebalahan saja. Biar orang-orang melihat kelurusan dan kerapian shaf kita. Sekalian kita mencoba memahamkan tentang pentingnya shaf yang rapat dan lurus.”
“Sepertinya itu ide yang bagus. Tapi sekarang aku bawa sajadah nggak?”
“Aduu…uh! Sajadah lagi, sajadah lagi. Nggak usah bawa aja dulu. Ntar bermasalah lagi.”
Berdua, mereka segera bergegas ke Masjid As Syuhada.. Sampai di masjid, suasana begitu lengang. Sholat isya telah dimulai. Mereka segera mencari tempat. Tapi sayang, tidak ada tempat yang bisa dipakai dua orang sekaligus.
“Sudah, kamu di sini aja. Aku akan mencari tempat lain. Ntar keburu habis sholat isya’nya. Sepertinya ini raka’at terakhir.”
“Tapi kamu kan, nggak bawa sajadah.”
“Nggak apa-apa. Hari ini kan, tidak hujan jadi lantainya nggak basah.” Setelah bersusah payah alhirnya Husna menemukan tempat yang berada di sela-sela shaf. Sekilas Husna melirik ke kir, dan dia agak terkejut ketika mengetahui bahwa orang yang di sebelahnya adalah nenek yang menudunhnya mencuri beberapa hari lalu. Sebenarnya Husna ingin mencari tempat lain. Tapi selain susah, juga akn menyita banyak waktu. Husna hampir saja melakukan takbiratul ikrom ketika si Nenek menoleh dan tersenyum ke arahnya. Belum hlang rasa kagetnya, si Nenek malah membungkuk dan mengambil sajadahnya. Si Nenek berbagi sajadah dengannya. Reflek Husna menolak.
“Lho, Nek nggak usah.” Spontan Husna bicara pada Nenek yang seharusnya masih sholat.
“Nggak apa-apa. Maaf ya, kejadian kemarin.” Dengan santai si Nenek melanjutkan sholatnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tinggal Husna yang kebingungan dengan semua yang terjadi.
Ah, kalau saja aku tadi membawa sajadah pasti pasti Nenek tidak perlu berubuat begitu. Pe-er shaf belum selesai sudah ditambah pe-er Nenek yang harus diajari tentang tata cara sholat yang benar. Semoga ini adalah lading amal baru yang bisa menjadi pendulang pahala.
Saat tarawih di Masjid As Syuhada BTN Mastrip Jember
Cintamu Terlalu Muda
Cahaya rembulan menembus pohon-pohon randu di sekitar ladang. Suara jangkrik bersahutan merayakan kegembiraan malam yang terang.
"Dita, would you marry me...?" bisik Paijo di telinga Dita.
"Jo, kamu serius......?, atau kamu hanya kumbang yang hanya manis kala mengharapkan bunga", sergah Dita penuh tanda tanya.
" Aku serius Dita, aku akan segera melamarmu kalau engkau setuju untuk menjadi istriku..."
dan segera malam berlalu....................................
Dita kena grounded 1 bulan, rahasianya ketahuan sudah, dia pacaran dengan Paijo, anak pedagang kelontong tetangga RT-nya. Sehari2 hanya nangis saja....., bukan karena rindu Paijo tapi karena bosen di rumah.
"Assalamu alaykum......", bel berbunyi tepat pagi ke-27 Dita dikurung.
buru2 Dita lari mau membuka pintu, kesempatan untuk melihat orang luar selain dari ibu bapaknya, pikirnya.
"Masuk .....Dita...", teriak ayahnya.
Dita mendelik karena takut, dia kembali ke belakang....tapi diam2 mencuri dengar siapa tamu yang datang. Paijo dan orang tuanya datang untuk melamar Dita......
"Anak saya tidak akan saya serahkan kepada orang yang tidak bisa membahagiakannya, pergi.....!!!!!!" suara bapak Dita terdengar lantang.
Dita tahu pasti lamaran itu pasti ditolak, alasannya pasti karena Paijo tidak kaya lah, Paijo kurang berpendidikan lah, Paijo belum punya rumah sendiri, dan beribu alasan lain.
Malamnya Paijo mengurung diri di kamarnya, gelap....gelap....hanya gelap yang dirasakannya.
Menjelang subuh, Paijo sudah berkemas2, tekadnya sudah bulat, dia akan lari dari kampungnya, malu...malu sekali. Dia malu jadi orang miskin, malu jadi orang tak berpendidikan, malu hidup di kampungnya sendiri, kampung yang dulu sangat dicintainya.
"Saudara2, demi generasi mendatang yang lebih baik, korupsi, kolusi, dan koncoisme, harus dieliminasi dari negara kita tercinta ini" teriak seorang gadis cantik mengakhiri orasinya, mahasiswa-mahasiswa lain tampak puas atas orasinya.
Turun panggung, tangan gadis itu ditarik sama pemuda berambut gimbal dan diajak ke pinggir lapangan.
"Dita, ada yang mencarimu, katanya pacar kamu...!!!, cerocos si gimbal.
"Busyet dah, pacar gue.....gue gampar loe macem2...!!!" Dita merasa terusik atas ulah si gimbal.
"Yah, loe dibilangin gak percaya, tuh anaknya nungguin loe di pintu gerbang kampus."si gimbal jengkel sambil ngeloyor pergi.
Dita yang kepanasan habis orasi tambah jengkel saja, sudah jengkel sama pejabat2 Indonesia yang kerjanya cuma merusak bangsa, ditambah lagi ada yang ngaku2 jadi pacarnya dia, tanpa sepengetahuannya lagi, ketemu aja belum pernah pikirnya.
Sambil bersungut2 dia bergegas ke pintu gerbang kampus, kampus yang telah membuat dia lebih memahami derita rakyat dan derita kaum lemah, suatu hal yang tidak pernah dirasakannya dalam keluarganya yang berada.
"Heh, loe......., sapa loe ngaku2 jadi pacar gue, blon pernah nyungsep ke got loe...", Dita langsung nyerocos begitu ketemu cowok yang dimaksud si gimbal.
"Tenang Dita...", jawab cowok itu tenang.
"Tenang, tenang.......tenang nenek moyang loe..., kalo ngajak berantem jangan beraninya sama kaum hawa doang."Dita nyerocos lagi nggak berhenti.
"Dita yang manis..."cowok itu mulai bicara pelan dan halus, membuat Dita agak sungkan, apalagi dia dibilang manis, dia mulai mendengarkan.
"Hurry up, I am listening..." gertak Dita
"Kamu memang nggak berubah dari dulu, tapi kamu nggak akan pernah bisa galak denganku.."ucap cowok itu dengan penuh percaya diri.
Dita tambah penasaran, belagu amat cowok ini pikirnya.
"Heh, loe gak usah bertele2, apa maksud kedatanganmu..., cepet bilang sebelum aku kehilangan kesabaran..."
"Kamu inget temen mainmu waktu kecil yang punya garis kecil di atas bibir atasnya, yang sering nyuri mangga tetangga bersamamu...?."cowok itu mencoba meredakan kemarahan Dita dengan pertanyaan.
Dita berpikir keras, mencoba mengingat kembali masa lalu pahitnya yang berusaha dia kubur dalam2. Masa lalu dalam kediktatoran keluarga, suatu hal yang amat dia benci dan dia tentang habis2an saat ini bersama teman2 mahasiswa seluruh negeri.
"Kamu......, Kamu...., Paijo...!!!!!." Dita terbata2
Cowok itu mengangguk. Dita lemas lunglai, serasa terasa lagi seluruh syarafnya karena kaget.
Beberapa hari berlalu..............
"Dita, setelah kupikir matang, aku akan menyuntingmu, kalau dirimu bersedia menjadi pendamping hidupku...?," Paijo dengan hati2 memberanikan diri meminta Dita untuk menikah, walaupun dia takut kalau Dita sudah tidak mencintainya lagi. Dita mungkin berubah pikirnya, sudah jadi gadis metropolitan.
"Tapi Paijo, ortuku pasti gak setuju, kamu masih ingat kejadian waktu itu kan....?,"sanggah Dita dengan wajah sedih.
"Aku sadar hal itu, tapi yang akan berumah tangga itu kita, asal kita saling mencintai, kita akan bersama2 mewujudkan cita dan cinta kita yang telah kita impikan dulu.., kita nikah dengan wali hakim.."ujar Paijo sungguh2.
Dita linglung, dia harus memilih antara cinta dan orang tua, sebuah pilihan pahit, peribahasa "If there are two choices, choose the third one" tidak berlaku lagi sekarang. Pilihannya benar2 cuma dua, Paijo atau orang tua.
Setelah kusut semalam itu karena banyak pikiran, Dita akhirnya memutuskan memilih Paijo, pilihan yang pahit sebenarnya, tapi dia tak bisa mengingkari kalau dia masih mencintai Paijo, terbukti dia belum pernah sekalipun begitu sreg dengan cowok2 yang mengejarnya walaupun mereka ganteng dan kaya, setelah sekian lama pisah dengan Paijo.
Pernikahan dilangsungkan sederhana di masjid kampus, sangat sederhana, hanya dihadiri teman2 terdekat saja.
Setelah menikah, Paijo dan Dita tinggal di satu kontrakan, selain untuk mengirit ongkos, mereka berencana membeli rumah sederhana dari tabungan mereka selama ini.
Mereka sama sekali tak mau mengemis pada orang tua, hal yang tabu dalam pandangan mereka. Merepotkan mereka lagi setelah kerepotan2 mereka sejak mereka dilahirkan.
Paijo bekerja sebagai redaktur sebuah harian ibukota sebagai cerpenis dan pencipta puisi, sekaligus menyalurkan hobinya sejak kecil. Dengan uang seadanya, mereka mencoba bertahan hidup di ganasnya kehidupan ibu kota.
Setahun sudah berlalu.......
Dengan menghisap rokoknya dalam2, Paijo berpikir keras...belum satu puisipun terhasilkan dari sibuknya di depan komputer hari ini. Pikirannya kalut dan bingung, Dita hamil..., kontrakan sebentar lagi habis, musti diperpanjang, apalagi penerbitan puisinya tinggal lusa.
Dia memandang Dita yang ketiduran di sampingnya, wajah ayu tanpa dosa yang setia menemani perjalanan hidupnya. Dia tidak habis pikir kadang, anak konglomerat yang mau membagi hidup dengan orang kecil seperti dia.
Jarum jam berdentang 2 kali, dan satu puisipun terselesaikan. Matanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi......Paijo tertidur..
Paijo terbangun, matahari dengan garang membelai mukanya yang kusut, jendela telah terbuka, dia mencium bau mie goreng kesukaannya, rupanya Dita telah masak. Tapi dia kaget setengah mati, komputernya telah mati, padahal dia belum menyimpannya di file.
"Dita..............!!!!!!!!"Paijo berteriak keras.....
"Ya.........!!!!" jawab lembut Dita dari belakang.
"Siapa yang mematikan komputer..?"Paijo berteriak keras, merah mukanya tanda marah.
"Saya, kan Mas Jo tidur malam tadi.." jawab Dita masih sibuk dengan masakannya.
"Kamu tahu, aku harus menyelesaikan puisi itu dan besok akan terbit, dan saya belum menyimpannya, kamu keterlaluan Dita, tidak tanya2 aku dulu", Paijo menuju ke belakang dengan bersungut2.
"Itu puisi untuk membayar kontrakan, untuk membayar makan, apa kamu nggak ngerti...?"
"Ya, tapi kan saya tidak tahu kalau belum disimpan Mas..."
"Tapi kamu kan harus tanya dulu..., kamu memang keras kepala...., sudah salah membantah terus.., kamu tidak pernah berubah Dita.." Paijo mulai kehilangan kontrol atas omongannya.
Dita mulai berubah air mukanya mendengar ucapan Paijo, air mata mulai meleleh di pipinya. Dita pergi ke kamar dan menguncinya. Paijo hanya bisa melenguh memandangi jalanan kota Jakarta yang sibuk dan penuh polusi. Dia duduk lagi di depan komputer, mengingat2 lagi apa yang ditulisnya tadi malam. Sejam berlalu......
Pintu kamar berderit...
"Ternyata orang tuaku benar, kau tidak bisa membahagiakan aku, kau hanya bermain dengan khayalanmu, bermain dengan puisi2mu, tidak ada gunanya lagi aku bersamamu, kau tidak pernah mengerti aku, aku tidak mau mati dalam filosofi2 dalam otakmu itu, aku mau pulang ke orangtuaku..., selamat tinggal Jo..!!!", dng membawa sebuah tas jinjing Dita segera melesat pergi.
Paijo melongo, bingung mau berbuat apa, rasanya tidak percaya, kata2 yang keras dan cepat, sedikitpun tak ada waktu menjawabnya...
Dita segera hilang ditelan tikungan jalan, hilang di antara2 bajaj dan mobil2, Paijo menggigil.........gadis cantik itu telah pergi, tak meninggalkan apapun.................................................................................. kecuali sesal.
Jarum jam menunjuk angka 2, dingin sudah mulai membelai kulit dan meminta perhatian agar aku segera tidur. Aku sudah memuaskan birahi Pak Reno, lelaki gendut kepala RT-ku. Dia berjalan terhuyung2 pulang ke rumahnya. Badannya bau sekali, mungkin dia hanya mandi pada bulan Suro saja, nafasnya ngos2an seperti dikejar maling, dan rambutnya yang mulai memutih itu, sering rontok kalau terkena tarikan, walaupun sedikit saja. kalau saja dia tidak membayar selembar ratusan ribu untuk "short attack", aku tidak akan sudi melayaninya.
Oh ya..perkenalkan namaku kartini, aku memakai k (kecil) untuk namaku karena aku tidak mau menodai nama Ibu bangsa Indonesia Raden Ajeng Kartini. Dia adalah idolaku sejak kecil, memang dia hanyalah seorang anak selir dari asisten Wedana*, tapi cita2nya untuk membangun bangsaku sangat aku kagumi. Aku tak perduli walaupun dia akhirnya menyerah kepada nasib dengan menikahi seorang bupati, bupati lagi bupati lagi.....aku jadi muak mendengar nama itu..seperti tidak ada nama lain saja di dunia ini. Bupati yang berkuasa di wilayah yang cukup luas, disembah di sana sini, orang menyungkur kalau bupati lewat, bisa menikahi perempuan lebih dari satu, bahkan mungkin sepuluh. Tetapi kebangsatan priyayi Jawa yang bertitel bupati ini juga tak kalah memuakkan, dia akan menyungkur terhadap penggede2 kumpeni, bangsaku menyebut demikian. Hasil bargaining dari Verenigde Oost-Indische Compagnie, bangsaku susah melafalkannya sehingga menyebut kumpeni dengan gampangnya.
Ibu Kartini memang menyerah terhadap tekanan terhadapnya, tapi aku toh menyerah juga pada tekanan yang menghimpitku. Jadi sekali lagi aku tidak perduli, bagiku Kartini adalah pahlawanku. Tapi begitulah, namaku juga kartini, tentu saja tanpa Raden Ajeng atau Raden Ayu di depannya, dulu waktu aku masih sekolah SD, aku dengan bangga menggunakan K besar di ujung namaku, aku ingin menjadi seperti dia, menentang kelaliman laki2, berteriak melawan kemunafikan para priyayi2, berharap menghancurkan budaya malu2 dan unggah-ungguh, mencoba mendidik wanita negeri untuk mampu mendongakkan wajah menghadap cerahnya kehidupan.
Tapi cita2 menjadi hanya sekedar cita2, seperti uap air yang akan segera menghilang membubung ke angkasa, berarak ke sana kemari menawarkan diri. Aku tidak bisa lagi melanjutkan ke SMP, walapun rentetan nilaiku cukup menjanjikan. Aku termasuk orang yang cukup cerdas, setidaknya itulah yang dibilang guru2 SD ku. Tapi beberapa lembar puluhan ribu tak ada pada diriku, sehingga dengan sangat terpaksa aku mendekam di rumah, menyaksikan teman2 sebayaku memakai sepatu baru, celana baru, tas baru, dan semua yang serba baru, cerah menjemput harapan. Kadang aku harus menangis, mengapa dunia ini terlalu jahat kepadaku, seorang gadis kecil yang harus menabrak kenyataan pahit.
Setiap pagi aku harus bangun, membantu ibu memasak, dan kemudian ikut ke sawah membantu apa saja yang bisa kulakukan. Sepetak tanah hasil warisan dari kakek itulah satu2nya harapan hidup kami. Itupun sering harus dibiarkan bero**karena pengairan irigasi belum sampai menyentuh sawah kami.
Aku cukup cantik, tubuhku putih bersih, rambutku panjang berombak, mataku bulat disertai bola mata yang tajam, seperti putri Bali kata ibuku. Dua tahun setelah aku lulus SD, datang seorang tetangga kami, Pak Dasad namanya, seorang tuan tanah. Dia bilang terus terang pada orang tuaku agar diijinkan mengawiniku, sebagai gantinya sawah sebahu*** akan diberikan kepada mereka. Ibuku dengan tegas menolak permintaan itu, bahkan dia menangis sesenggukan. Tapi bapak punya pendapat lain, dia setuju dan bahkan meminta persyaratan tambahan dari Pak Dasad, tegalan yang di pinggir kali punya Pak Dasad pun dimintanya juga. Malamnya terjadi perang besar antara bapak dan ibu, pertama kali dalam hidupku kulihat mereka begitu saling benci, saling caci, sumpah serapah keluar semua. Aku hanya diam saja. Hatiku menangis, tapi aku tidak bisa berbuat apa2. Aku ingin lari tetapi lari kemana. Aku hanya sesenggukan sendiri di kamar.
Besoknya aku sudah dipingit, tidak boleh keluar sama sekali. Rupanya bapak lebih superior daripada ibu, dan aku yang harus menjalani derita dari zaman ke zaman ini.
Beberapa hari setelahnya pun aku menikah, sederhana dan kecil2 an, karena aku memang istri ke sekian dari Pak Dasad. Dan malam petaka itupun datang, dengan nafsu Rahwana-nya Pak Dasad memperkosaku, ya dia memperkosaku. Sama sekali tidak ada foreplay, sama sekali tidak ada kata2 sayang yang seharusnya sangat diharapkan oleh seorang perempuan. Alih2 tahu tentang G-spot, bahkan setelah nafsu birahinya terpuaskan, diapun tidur terlelap dan mendengkur di sampingku.
Pernikahan kami tidak berlangsung lama, Pak Dasad adalah tipe yang ringan tangan. Pukulan sering mendarat di sekujur tubuhku bila ada sesuatu yang menurut dia salah. Lama kelamaan aku tidak tahan lagi, akupun minta cerai. Permintaanku dikabulkannya, tetapi masalah tidak berhenti di situ, aku hamil anaknya. Untuk menghindari malu, aku langsung mengungsi ke daerah perkotaan. Dimana berlaku filosofi hidupmu adalah hidupmu dan hidupku adalah hidupku.
Dan lahirlah Dara, mungil dan cantik, waktu lahir beratnya hanya 2,7 kg. Aku memberi nama demikian, karena aku ingin dia bisa terbang bebas seperti burung dara(merpati=red), menemukan soul mate-nya dan hidup bahagia selama2nya. Untuk menghidupi Dara, aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Siang hari aku bekerja, dan malam hari aku merawat Dara. Untung siang hari ada seorang nenek sebelah kos2anku yang rela menunggui Dara tanpa bayaran sepeserpun.
Suatu saat aku ketiduran saat memasak, lelah sekali karena Dara rewel terus semalaman, dan panci tempat aku masak itupun hangus dan terbakar. Aku mendapat marah besar dan seketika itu pula dipecat dari jabatan pembantu rumah tangga.
Mencari pekerjaan susah sekali, jangankan untuk aku yang hanya lulusan SD, para sarjana2 yang telah bertitel berjejer, dan yang menghabiskan puluhan juta untuk studinya saja harus berlari pontang-panting ke sana kemari mencari sesuap nasi.
Dara kena demam, aku tidak ada uang sama sekali, aku pinjam kesana kemari tidak ada yang mau meminjami, Dara menangis saja tanpa henti, aku sampai pusing mendengarnya. Tiba2 pintu kosku dibuka, aku kaget, Pak Budi, tetanggaku yang ganteng itu masuk tanpa permisi. DIa menawarkan untuk membawa Dara ke dokter terdekat, tetapi meminta imbalan tubuhku. Aku bimbang memilih antara nilai harga diri dan kecintaan kepada anak. Akhirnya aku memilih yang kedua. Itulah pertama kali aku menjual tubuhku untuk beberapa lembar puluhan ribu. Pekerjaan ringan sebenarnya, walau hati ini pedih. Tetapi aku tidak punya pilihan lain.
Dan menjadi perempuan penjual cinta pun menjadi pekerjaanku sejak itu. Aku tidak tahu kenapa, namaku cepat sekali menyebar di kalangan underground pria hidung belang. Kebanyakan memang pria baik2 yang menjadi langgananku, tetapi juga tak jarang pula para bangkotan tengik itu yang menikmati tubuhku.
Dara sudah umur 3 tahun sekarang, sudah mulai ceriwis, rasa ingin tahunya semakin besar, dan sudah mulai kelihatan tanda2 kecantikan yang ia warisi dariku.
"Mama, kenapa setiap hari selalu ada orang kesini..?, apakah mereka menyakiti mama..?"
"Dara sayang, mereka tidak menyakiti mama, mereka justru membantu mama, untuk membeli makanan dan menyekolahkan Dara tahun depan"
"Mama, jadi apakah aku nanti..?"
Aku kaget, dan airmataku meleleh.
" Dara akan jadi Kartini yang tidak pernah menyerah"
* wedana : pemimpin dari kumpulan beberapa kecamatan,
setingkat di bawah bupati
**bero : tanah puso/tidak digarap
*** sebahu : seperempat hektar
Krriiiiingggg.....Kriiiiiinggggggg.......
"Andi....telpon...?" Hari dengan betenya memanggilku, dia ngantuk sehabis acara rapat pembentukan panitia Ramadhan tadi malam.
"Ya, sebentar....., dah hampir selesai mandi...!!!, dari siapa sih...siang bolong gini..?" jawabku sekenanya dari kamar mandi.
"Biasa...dari Deasy, katanya dia mo tunggu...loe cepetan, interlokal nih...!!!!, Hari makin gedeg aja tau gelagatku yang sok nyantai.
"Ya, brisik amat sih loe"
Telepon itu mungkin telepon ke 1000 kalinya dari Deasy untukku, hal yang aneh, aku belum pernah bertemu dia, tapi kita sudah pacaran. Aku hanya iseng bilang cinta sama dia, dan dia menerimanya. Aku pernah belajar meramal suara orang, dari suaranya gadis itu sangat lembut dan perhatian, aku tidak mencintainya barangkali, karena aku tak mau menggantungkan hidup dalam hal yang tak pasti.
Hampir setiap hari Deasy selalu telpon aku, dari pembicaraan singkat 5 menitan hingga kadang sampai 3 jam. Telingaku kadang panas, sepanas hatiku karena membayangkan kegilaanku berani memacari wanita yang belum pernah aku kutemui.
Dan setahun pun berlalu.................
Aku gelisah, begitu pulang dari kampus aku langsung mengambil wudhu dan sholat dhuhur, mencoba menenangkan diri sejenak. Sudah seminggu ini Deasy tidak menelponku. Aku tidak tahu mengapa...., dia hilang begitu saja. Dia begitu misterius....begitu jauh untuk kujangkau. Hatiku benar2 bingung, tidak biasanya dia seperti ini. Aku sudah terbiasa terbius oleh suara halusnya di tengah malam, aku sudah mencampur dalam desahan manja di telepon itu. Aku mungkin jatuh cinta, tapi otakku memaksaku untuk mengatakan tidak, aku tidak mungkin jatuh cinta pada suara, aku tidak mungkin jatuh cinta pada wujud tanpa rupa.
Kriiiiiiiiiingggggggggggg........
kurang ajar kata batinku, setiap kali ada bunyi telepon hatiku selalu berdegup keras, mengharap Deasy ada di ujung sana. Tapi dia tak kunjung datang, atau aku saja yang bodoh mengharapkan dia. Aku sedang mengarahkan pandanganku pada televisi, acara sinetron yang membosankan, sinetron "Tersanjung" , sinetron tak berkualitas yang hanya membelit2kan pokok persoalan untuk memperpanjang masa tayang, dan celakanya saudara sebangsaku terutama ibu2 termasuk ibuku sendiri suka sekali dengan sinetron itu. Mataku memandangi tv tua itu, tapi sebenarnya menerawang jauh membayangkan apa yang terjadi dengan bidadari kayanganku itu, mungkinkah dia menemukan pria lain dalam kehidupan nyatanya, mungkinkah dia sakit keras sehingga tidak bisa menelpon aku, mungkinkah dia sadar bahwa hubungan seperti ini tidak mungkin dilanjutkan, mungkinkah............
Hari terlihat tersenyum, senyum yang aku selalu hindari untuk melihatnya, karena sifatnya yang kebanci2an itu, tapi kali ini aku harus melihat, karena instingku mengatakan ada berita darinya. Hari mendekatiku, dan berbisik .........
"Andi, Deasy sakit keras, dia menderita leukemia akut, mungkin nyawanya tidak bisa terselamatkan...." Lhadalah ngadubilah, salah satu prasangkaku benar, dia sakit, oh bidadariku itu sakit, oh apa yang harus kulakukan.
"Mana dia...?, mau dia bicara denganku...?"
"Hee...., sabar kenapa...., telponnya sudah ditutup, tadi dia cuman bilang dengan suara yang lemah sekali, mengabarkan kondisinya"
"Kenapa kau tidak kasih aku...?" mmmmmhhhhh aku mau mengumpat, tapi aku tidak terbiasa, aku tidak bisa marah.
"Abisnya dia nggak mau koq..., emang aku harus maksa, enak aja..."
Kali ini aku harus ngalah sama Hari, memang hal ini none of his business, sudah untung dia mau menyampaikan pesannya Deasy. Dugaanku telah menjadi kenyataan, Deasy sakit parah dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan aku, aku masih di sini, segar bugar, tidak ikut merasakan penderitaannya, tidak mendampinginya saat dia membutuhkan seseorang disampingnya. Yah, apa mau dikata, nomor telponnya pun aku tidak punya, dia selalu mengelak jika kutanya tentang alamat, no telpon, atau apapun yang berkaitan dengan jatidiri sebenarnya dia. Dia hanya sering bercerita tentang kehidupannya sehari2 di ujung sana, kapan dia pergi ke kampus, bagaimana dia sering merawat anak kecil yang sudah tidak punya ibu lagi (anak tetangganya yang sering dititipkan ke Deasy tanpa bayaran, karena anak itu sangat senang dengannya), bagaimana dia sering digodain sama pemuda2 yang kost di depan rumahnya, semua diceritakan padaku dengan detailnya. Aku seperti dibacakan novel kehidupan seorang bidadari yang hendak mati, tetapi masih melakukan kewajibannya untuk belajar, mengasihi, mencintai, tanpa sekalipun mengharapkan untuk menerima kembali. Pernah suatu saat secara tidak sengaja dia bilang bahwa dia tidak ingin melukai aku, karena dia memang sakit parah dan sudah pasti tidak bisa membahagiakan aku.
Aku menjadi susah tidur selama beberapa hari, lamunanku tidak lain hanyalah Deasy seorang. Fotonya dalam pakaian casual dengan balutan jeans warna abu2 dan t-shirt putih yang begitu cantik sering kupandangi, oh andainya dia benar2 ada dalam kehidupanku. Foto Deasy satu2nya yang kupunya, sebagai tanda perkenalan kira2 setahun yang lalu, yang kudapatkan dari keponakannya yang tinggal sekota denganku. Suaranya yang begitu halus, meyakinkan aku bahwa dia seorang gadis yang lemah lembut, dan cenderung menyendiri. Aku tak tahu mengapa aku harus jatuh cinta dengan hantu, mengapa aku harus mengharapkan orang yang suatu saat pasti mengecewakan aku.
Beberapa hari terlewati sudah, resahku sudah mulai berkurang, mulai sibuk dengan kegiatan kuliah dan kegiatan masjid, bayangan Deasy sudah mulai bisa kulupakan. Tetapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai gadis ini, belum pernah aku menemui wanita selembut dan sehalus dia, maksudku di alam nyata.
Setelah selesai mengerjakan tugas laporan field trip ke objek wisata, mataku sangat lelah setelah hampir semalaman di depan komputer, aku mengambil gitar yang setia menemaniku sejak aku masih di SMA, saksi bisu cinta pertama dan keduaku yang sudah berakhir itu, dan aku mulai menyanyi, sekenanya mulai dari lagunya Norah Jones sampai Didi Kempot, mataku sudah ngantuk sekali, masih kucoba memetik dan menyanyi lagu Diva-nya Gigi, akupun akhirnya terlelap dengan gitar masih di pelukanku...........
catatan pengarang :
cerpen ini gak ada hubungannya sama sekali dengan temen baikku yang kebetulan juga namanya Deasy, jika aku mempergunakan nama ini dan akhir cerita yang cukup menyedihkan, aku justru berharap sebaliknya terjadi pada Deasy di alam nyata.
Kitab2 kuning berbalut sampul tebal itu aku hamburkan ke seluruh sudut kamarku, satu sudutpun tak kubiarkan lepas dari cengkeraman kemarahanku. Goresan2 huruf Arab yang selama ini telah kupelajari dengan tekun ternyata tidak membawa hidupku menjadi lebih baik. Jeritan jiwaku sudah melelehkan belenggu besi yang selama ini terlalu kuat untuk aku lawan. Aku telah terkapar di lembah yang telah diciptakan oleh institusi2 bejat yang dilegalkan oleh waktu dan peradaban.
Daqaa'i qul Akbar, Ghoyat at-taqrib, Ushfuriyah, Fadhoitul Amal, .........aku tidak tahu lagi, berapa jilid kitab2 kuning yang telah aku pelajari. Aku hanya menghamburkan mereka, berharap ada yang mendengarkan kekecewaan hatiku. Lelah menangis, aku mengambil kitab terakhir yang masih tersisa di meja belajarku, Uqudul lijain...........spontan aku sobek2 lembaran itu, seakan membalas dendam atas isinya yang telah menyobek2 harga diriku sebagai seorang wanita muslimah dan seorang manusia merdeka.
Diinginkan diriku oleh si tua itu, seseorang yang selalu memimpin sholat berjamaah di kampungku, yang sebelumnya telah mempunyai tiga istri, dan aku dijadikan pelengkap dikarenakan itu sunnah Rasul*. Tidak hanya sunnah bahkan, ditambahi label muákkadah** dibelakangnya. Aku tidak habis mengerti, apakah orang2 itu tidak bisa berhitung matematika, bahwa 2 itu lebih banyak daripada 1, dan kalau mereka mengerti hukum demokrasi, bahwa 2 itulah yang akan menang. Selalu mereka gembar-gembor ayat suci yang dipotong demi kepentingan patriarki, "kamu (laki2) boleh menikahi wanita satu, dua, tiga, atau empat", tanpa menyebutkan lanjutannya yang mengharuskan untuk berbuat adil, satu syarat yang sangat berat, bahkan Nabi Muhammad pun tidak bisa berbuat adil terhadap istri2nya, hanya adil lahiriah yang beliau bisa laksanakan, adil batiniah beliaupun harus angkat tangan. Apalagi jika ditambah dengan lanjutannya bahwa adil itu sangat susah bahkan mustahil terlaksanakan oleh seorang lelaki yang beristri lebih dari satu. Betapa berani mereka mendasarkan legalisasi poligami atas ayat suci Qurán yang mulia itu, sedangkan dengan pongahnya memotong sebagian untuk menonjolkan sebagian yang lain.
Berat sungguh kurasa, mataku semakin terpejam, seakan tak mau terbuka lagi. Hanya setetes demi setetes air mata yang menyelinap dalam ketertutupan itu. Kehidupanku selanjutnya pasti akan sangat berbeda dari hari2ku sebelumnya. Dua hari ini perutku sudah tidak mau menuntut untuk diisi, hanya suaranya saja yang kadang mengganggu telingaku, tapi perintah hatiku tetap mengatakan tidak mau. Aku menutup jendelaku rapat2, malu aku pada rembulan, tak ingin aku dibelai angin lagi, aku hanya ingin menyendiri dan meratap. Mencoba mencari sedikit alasan untuk tetap hidup dan berkarya sebagai makhluk.
Semakin larut, malam menarik selimutnya yang lembut, walau aku sudah tidak bisa merasakan kelembutan lagi. Kecantikanku selama ini ternyata tiada berarti, dan hanya akan kuserahkan kepada orang yang tak bisa aku mengerti. Untuk apa aku belajar selama ini, kalau ilmu2 itu hanya dipelajari "bil barkah", hanya untuk mendapatkan berkah dari pengarang2nya yang telah dipeluk dan dilumat bumi ratusan tahun yang lalu, sedangkan ilmunya sendiri tidak bisa dipraktekkan, kalaupun bisa sudah ketinggalan kereta peradaban. Romantisme masa lalu berlebihan yang banyak dipunyai oleh manusia2 beragama di jamanku.
Kuhempaskan dalam2 mukaku di bantal, sedalam hempasan asaku yang telah mencapai titik terendah. Kucoba menahan nafas, berharap derita batinku berkurang, tapi ternyata tak membantu sama sekali. Paru2 ku terasa penuh oleh sampah2 kehidupan, digerogoti sedikit demi sedikit, menyakitkan dan mengantarkan bau2 alam aneh yang tak dimengerti oleh seluruh badanku.
Kubalikkan badan lagi, mencoba menarik nafas dalam, sedalam tarikan lubang2 hitam atas bintang2 di sekitarnya, kuulangi berkali2, dan ternyata tak berpengaruh banyak. Kulepas satu persatu bajuku, jilbabku kulempar entah kemana, aku telanjang, tanpa sehelai kainpun menempel di tubuhku. Bersujud di kegelapan, sekali lagi aku meratap, dan ingatan2 indah itu seakan mengejekku, saat aku masih menjadi idaman para pemuda kampung, saat aku masih bisa bebas berimajinasi dan melukis masa depanku, saat aku masih bisa berbicara tidak, saat daun2 masih mengucapkan selamat pagi pada parasku. Telanjang seperti waktu aku pertama kali menghirup udara bumi, dan bersujud pada-Nya seperti sujudku waktu masih hangat mendiami uterus.
Sumpah serapah hatiku atas nasibku tak tertahan lagi, kuingin tumpahkan semua. Kenapa aku harus jadi korban sebuah anggapan yang belum tentu benar. Kalau mereka mau melaksanakan sunnah Rasul, kenapa mereka tidak mengawini janda2 tua yang tidak punya perlindungan seperti yang dilakukan Rasulullah. Kalau benar mereka mau bersunnah, tidakkah mereka tahu bahwa istri Rasulullah yang cantik hanyalah Zainab dan Aisyah, sedangkan kiai calon suamiku ini memilih istri2 muda dan cantik yang masih gadis saat dikawini. Dan aku tahu pasti laki2 ini tak pernah menyentuh pekerjaan dapur, sedangkan Rasulullah Muhammad sering memasak untuk keluarga di waktu luangnya.
Genggaman tanganku kupukul-2 kan ke lantai, berharap kesedihan ini mampu mengeraskan suaranya menembus batas2 surga, sehingga Nabi Muhammad-ku mau mendengarnya. Mengharap kelembutannya dan kejeniusannya menuntut manusia2 yang mengaku mengikutinya tetapi sama sekali tidak mengerti pesannya. Semakin sakit jari-jemariku menabrak lantai2 dingin, tapi kesesakan jiwaku tak juga berkurang.
Tiba2 teringat aku akan tajamnya pisau yang sering aku pakai untuk memotong bunga mawar di belakang rumahku, kilauannya menarikku untuk memeluknya, tidak hanya memeluk, tetapi mendekap manja. Seerat mungkin, membagi dukaku, dan karena memang tajamnya setajam dunia yang telah merobek hidupku.
Darah berlumuran....hanya kurasakan alirannya, karena gelap menghilangkan warnanya.
Tak lama kemudian..., aku bisa melihat tubuhku sendiri, telanjang penuh darah, memeluk lantai, dan tangis membahana dari sanak saudara................
tugasnya bebarapa jam lagi akan selesai. Semua penduduk masih tertidur, hanya beberapa pekerja dunia pariwisata yang masih tampak mempersiapkan hidangan pagi.
Dalam lambaian angin yang sejuk, seekor babi berteriak2 menangis. Air
matanya deras mengalir seperti sungai Ayung di musim hujan. Dia berlari kesana kemari kebingungan, dingin malam tak dihiraukannya. Dia terus berlari, berlari dan berlari sekencang2nya. Sakit bekas ikatan di kakinya
tak dirasakannya lagi. Dia hanya ingin hidup, ingin lepas dari kematian yang ditakdirkan untuknya, bukan oleh Tuhan tapi oleh manusia.
Brukkkkk....
Tiba2 matanya berkunang2, dia menabrak sesuatu di depannya. Ah gara2
Kucit menangis, matanya jadi agak kabur. Kucit pingsan, tak berapa lama
kemudian dia mulai tersadar, hah hah......
"Jangan, jangan, jangan, aku jangan dibunuh. Aku masih ingin hidup. Aku
masih ingin hidup."
"Heh Kucit, kenapa kamu malam2 keluyuran sejauh ini. Berbahaya tahu,
kamu masih kecil".
Perlahan2 kucit mulai agak jelas melihat, semula hanya bayangan gelap
keputih2an di depan matanya, tapi kemudian jelas bahwa yang ada di
deapannya adalah seekor sapi.
" Huh..., kukira siapa. Paman Sapi.., tolonglah aku.
Please..suerrr...aku saat ini butuh bantuanmu Paman. Hidupku sedang
diujung tanduk Paman
Sapi. Ini emergency..."
"Sssttt, kamu berisik amat. Nangis ya nangis, tapi segitu banget.
Kupingku sakit tahu"
" Aku takut Paman Sapi. Mereka mau menyembelihku, buat acara Galungan
besok. Lihat nih, buluku berdiri semua."
Kucit menangis lagi, sekeras2nya. Dia berguling2 ke kanan dan ke kiri.
" Heh...babi tak tahu diri. Diaaammmm....!!!!!"
Sapi membentak Kucit. Kucit jadi terdiam......
" Toch manusia gak ada yang denger tangisanku kan Paman Sapi. Dimensi
suara mereka kan lain"
" Iya, tapi kupingku budeg tahu. Aku kan bisa denger suaramu."
Sapi mengelus kepala babi kecil itu dengan lembut, membuat Kucit
sedikit agak tenang.
" Ayo... ikut Paman"
Kucit menurut saja, menuruni bukit kecil yang penuh dengan perdu2.
Tanah kapur yang kering memudahkan perjalanan mereka menuruni bukit,
langkah kucit yang kecil tak sebanding dengan langkah sapi, membuat Kucit harus sedikit agak berlari untuk mengejar ketertinggalannya.
Akhirnya mereka hampir sampai di kaki bukit, isyarat sapi mengatakan untuk memperpelan langkah. Setelah melewati barisan pohon2 bambu kuning, sampailah mereka di kompleks Puja Mandala. Kucit sudah ragu2
menjejakkan langkahnya di pelataran Puja Mandala. Tetapi karena Sapi dengan tenang melanjutkan langkahnya, mau tak mau Kucit juga mengikutinya.
Rasanya tak ingin lagi dia melihat manusia, trauma melihat kematian ibunya yang mengenaskan tadi malam masih sangat membekas dalam ingatannya. Dia melihat ke kiri dan ke kanan. Bersiap2 atas segala kemungkinan. Hhmmm
sebelah kanan jalan raya, sepi dan lengang, tak ada orang lalu lalang.
Sebelah kiri yang harus diwaspadai pikir Kucit. Hhhmmmm...Masjid Agung Ibnu Batutah, hah tak ada tanda2 orang bangun juga. Kucit masih juga berjalan pelan di belakang sapi. Gereja Maria Bunda Segala Bangsa, wah
malah gelap gulita. Masih aman pikir Kucit. Dia terus saja berjalan mengikuti sapi, dan tetap dalam keadaan siap siaga kabur bila ada hal2 mencurigakan. Buddhaguna Vihara, hhmmm Kucit melihat puncaknya yang
kekuning2an.
Tidak ada orangnya juga, hanya tampak puncaknya saja yang kadang2 mengkilat diterpa temaram lampu. Bangunan selanjutnya cukup gelap, tidak ada lampu yang menerangi. Samar2 di ujung Kucit melihat ada papan nama.
Gereja Protestan Bali, oohhh jadi ini gereja juga. Tiba2 Sapi berhenti, melihat ke kiri sejenak, dan akhirnya melangkahkan kaki. Mereka memasuki bangunan putih berbentuk seperti candi. Sapi celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Akhirnya berjalan menaiki tangga yang tidak terlalu
banyak itu. Kucit harus berjuang sedikit ekstra untuk menaiki tangga2 itu, maklum dia memang masih kecil. Setelah sampai di atas, sapi berhenti dan menunggu Kucit yang agak ketinggalan.
Setelah Kucit sampai di atas, Sapi mengendus2 kepala Kucit, membuat Kucit agak sedikit lega.
Langit Nusa Dua diliputi sedikit mendung kehitam2an, berarak dari timur dan bercinta satu sama lain.
Angkasa sedang menghidangkan bulan untuk dinikmati makhluk bumi, memancarkan sinar lembut
dan mengajak air laut bergoyang.
" Paman Sapi, kenapa kau mengajakku ke sini...?"
" Karena penderitaanmu bermula dari sini Kucit, dari ketidak mengertian
manusia atas esensi hidup.
Karena penderitaanmu juga preseden buruk atas ajaran2 agama yang
memperbolehkan pembunuhan
atas bangsa binatang."
" Tapi tidak semua agama sejahat itu Paman, ada beberapa ajaran agama
yang melindungi binatang, dan
menganggap beberapa binatang sebagai makhluk suci. Paman sendiri
dianggap sebagai makhluk suci oleh
orang Hindu, kebalikan dari aku yang dianggap sebagai santapan. Kurang
ajar benar mereka itu, manusia
terkutuk"
"Menganggap binatang sebagai makhluk suci juga tidak menyelesaikan
masalah, di dunia ini tidak ada yang
suci Kucit. Hanya Tuhanlah satu2nya yang suci. Sama seperti orang Islam
yang tidak pernah memakan babi sepertimu,
landasan mereka bukanlah karena kamu memang makhluk hidup yang harus
dihormati hak2mu sebagai makhluk hidup,
tapi karena mereka jijik melihat kamu, menganggap kamu memiliki penyakit, dan kalau perlu kamu harus dimusnahkan
dari muka bumi"
" Ah Paman, biarlah mereka menganggapku begitu, yang penting banyak
saudara2ku terselamatkan karena ajaran itu."
" Kau jangan egois babi kecil, dari jenismu itu mungkin menguntungkan,
tapi dari jenisku ajaran Muhammad sangatlah
barbar, kau bayangkan berapa juta saja saudara2ku dibunuh tiap tahunnya
sebagai binatang korban. Bukannya dilarang,
tapi malah dianjurkan."
Kucit terdiam,airmatanya meleleh....., hatinya geram pertanda amarah,
spontan keluar suaranya grok grok grok dari hidungnya seperti
suara orang ngorok.
" Dasar babi cengeng, kenapa kau menangis lagi...?"
" Aku teringat ibuku Paman Sapi, aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri bagaimana ibuku menjerit2 menyebut namaku saat lehernya
diterpa pisau tajam dan mengucurkan darah begitu derasnya. Inikah bukti
bahwa manusia memang ciptaan Tuhan yang bermartabat,
kejam Paman...kejam...mereka kejam...!!!!!!"
"Sudahlah..., itu sudah terjadi. Kematian bukanlah akhir kehidupan
Kucit. Kematian adalah awal kehidupan baru. Suatu saat kau akan bertemu
ibumu lagi. Kau masih punya bapak..?"
" Aku tidak pernah tahu siapa bapakku Paman. Aku lahir dari inseminasi
buatan."
Sapi jengah..., timbul rasa ibanya yang dalam terhadap babi kecil
disampingnya itu. Diendusnya kepala Kucit, sambil dihapusnya airmata yang
masih meleleh di pipi.
"Kau lihat bintang2 di langit itu...?, mereka juga lahir tanpa Bapak,
bahkan tanpa Ibu. Setiap hari lahir ribuan bintang2 baru, menyemarakkan
peta
semesta. Walaupun tanpa Bapak Ibu, tapi mereka tegar, selalu menawarkan
sinarnya untuk siapapun yang membutuhkan. Jika saja mereka agak
lebih dekat dengan kita, mereka akan seterang matahari, bahkan lebih
terang lagi. Kaupun harus selalu begitu Kucit, kehadiranmu harus selalu
menjadi penerang, berilah makna2 baru kepada lingkunganmu, junjung
tinggi persamaan hak untuk semua jenis makhluk hidup."
"Paman, aku harus balas dendam. Kematian ibu harus dituntaskan, nyawa
harus dibalas dengan nyawa. Siapakah manusia yang merasa berhak
membunuh sesama binatang, mentang2 mereka dikaruniai otak yang lebih
baik dari kita. Apa gunanya otak itu kalau perilakunya juga sama dengan
binatang2 yang lain, bahkan lebih parah.Perbuatan mereka tak bisa
dibiarkan begitu saja Paman"
" Kau kira kau bisa melawan mereka, gunakan otakmu tolol...!!!!!,
superioritas mereka jauh di atas kita, melawan mereka bukan dengan kekuatan
nafsu dan kekuatan jasmani, tetapi kekuatan otak"
"Kekuatan otak, Paman jangan bergurau. Mereka lebih berotak daripada
kita Paman. Apakah Paman belum tahu, di koran2 mereka, di internet,
di tv, sudah berjejal bukti2 kalau saja manusia tidak mendomestikasi
dan memakan binatang lain, akan banyak nyawa manusia lain yang
terselamatkan.
Di Amerika Serikat saja Paman, jika saja penduduknya mau mengurangi konsumsi daging 10% saja, maka makanan berupa biji2an yang diberikan kepada binatang yang menghasilkan daging, akan cukup untuk memberi makan 60
juta manusia2 kelaparan tiap tahunnya. Tetapi mereka menutup mata atas statistik2 seperti itu Paman. Kurang bukti apa lagi, mereka sudah tahu bahwa binatang juga berbahasa, walaupun karena kebodohan mereka sendiri,
mereka tidak mengerti bahasa itu. Aku bisa melihat jin, melihat setan, melihat makhluk2 aneh di bumi ini Paman, bahkan aku bisa mengetahui kapan ada bencana,
tapi aku tidak pernah sombong. Tetap manusia Paman, dengan sombongnya
mereka mencampakkan bukti2 itu di got sampah."
"Ada benarnya juga kamu anak ingusan, kebenaran itu tak akan berarti apa2 jika diingkari dan tidak dilaksanakan. Yah, tapi begitulah. Tuhan saja yang begitu jahatnya membiarkan kita didomestikasi sedemikian rupa
tanpa ada pembelaan apapun dari-Nya."
" Menyalahkan Tuhan juga tidak membawa hasil baik Paman. Bukankah Tuhan sebenarnya sudah lepas tangan sejak Ledakan Besar atau bahasa kerennya
Big Bang itu. Sejak itu, semesta dibiarkan bergerak, bergoyang, berkembang semaunya sendiri. Jika kita pada kondisi yang sekarang ini, evolusi kita saja
yang kebetulan bernasib jelek. Tapi kita tidak boleh menyerah pada
nasib Paman, kita harus memberontak. Kita harus menuntut hak2 kita, kita tidak boleh tinggal diam di saat manusia dengan wajah tanpa dosa membantai 9 milyar sesama binatang tiap tahunnya."
"Aku juga tidak mengerti Kucit, dengan kepandaian mereka, sudah semestinya mereka bisa menciptakan daging2 sintetis yang tak kalah enaknya dengan daging2 kita ini. Mungkin dengan mendomestikasi kita, mereka
masih tetap berharap melestarikan status quo mereka sebagai penguasa alam, bukannya sebagai bagian dari alam."
"Hah Paman ini, teologi harapannya terus yang dikemukakan. Akuilah Paman, the truth is sometimes hurt. Memang menyakitkan untuk mengakui bahwa kita ini di
bumi, sesama binatang saling membunuh satu sama lain. Piramida Kehidupan katanya. Tapi justru itulah tantangannya Paman Sapi, kita harus melawan takdir
kuno itu. Semua binatang harus bisa hidup hanya dari tumbuh2an. Kau tidak lihat buktinya Paman, Si Meong, kucing liar kudisan di bukit Kampial
sana. Seharusnya dia Carnivore, pemakan daging. Tapi toch kalau terpaksa dia bisa makan
nasi, dan nyatanya hidup sampai sekarang. Kalau masalah dia kudisan, lha itu salahnya sendiri, wong gak pernah mandi"
Sapi tertawa terbahak2..., sampai perutnya kembang kempis, Kucit ikut
meringis. Suasana sudah menjadi begitu cair, Kucit sudah tenang
sekarang. Sapi pun kelihatannya
malah sekarang harus mengakui kehebatan retorika babi kecil itu.
Tiba2 terdengar suara bedug
bertalu2...Dug...dug...dug...dugdugdugdug...dug....dug...dug...dug...Kucit kaget setengah mati, dia langsung
berdiri dan bersiap2 lari sekecang2nya.
Sapi langsung menghadangnya.....
" Tenang..tenang...itu suara bedug dari Masjid Ibnu Batutah, mereka mau
sholat Subuh. Sebelum terang ayo ikut Paman ke tempat yang aman, kamu
pasti akan selamat di sana,
tapi dengan syarat, jangan sampai kamu keluar siang. Janji...???!!!!"
'' Ya deh aku janji, yang penting aku selamat Paman."
Mereka berjalan keluar dari Pura Jagatnata, beriringan seperti bapak
dan anak, sementara langit Nusa Dua sudah mulai berwarna semburat
kekuningan, tanda mentari akan
sebentar lagi menyapa makhluk bumi.
NB : 1. Kucit berarti Babi Kecil dalam Bahasa Bali
2. Kompleks Puja Mandala adalah kompleks 5 tempat
peribadatan di bukit Kampial Nusa Dua.
Ketika Hawa tidak mencintai Adam
Kutinggalkan Indonesia, negeri indah penuh bajingan itu. Bajingan yang bisa berkamuflase, dalam segala bentuk dan suasana. Terbang menuju negeri baru yang mungkin akan memberikan nasib lebih baik bagiku. Posisiku sudah cukup lumayan di rumah sakit tempat aku bekerja, cukup kalau hanya sekedar menghidupi diriku sendiri, tapi untuk menghidupi keluarga, apalagi untuk menghidupi anak2ku nanti, aku tidak tahu. Setelah kupikir lama dan atas persetujuan keluarga, akhirnya aku berangkat juga. Hanya saja ada torehan luka yang tersayat menjelang saat2 keberangkatanku, tunanganku memutuskan untuk tidak memberikan lagi curahan cintanya kepadaku, jarak yang terlalu jauh katanya, alasan klise yang membuat hatiku hancur, perjuanganku selama ini ternyata sia2, pengorbananku terhadapnya terlempar begitu saja. Tapi aku hanya bisa menangis, sampai kacamataku harus rela basah oleh deritaku. Memalukan mungkin, bagaimana mungkin aku menangis di saat usiaku yang sudah menjelang kepala tiga.
Tertatih2 di negeri baru, aku tidak perduli, hidup kuanggap sebagai permainan judi, kalah dan menang adalah keniscayaan. Kehidupan baruku terisi dengan kerja dan kerja, profesi perawat di sini ternyata tidak semudah di Indonesia, aku harus mengurus orang2 tua yang praktis sudah tidak bisa apa-apa, orang2 tua yang sudah tidak diurus oleh anak2nya,
yang hanya didatangi jika mereka sudah mati, hanya demi mendapatkan beberapa dari peninggalannya yang masih berarti.
Aku pun bisa menabung, penghasilan yang kudapatkan jelas jauh lebih besar daripada yang kudapatkan di Indonesia, tak lupa setiap bulan aku akan mengirim sebagian ke keluargaku dan sebagian lagi aku sumbangkan untuk pembangunan masjid di RW-ku yang setahuku sejak aku masih SMP sudah mulai dilakukan pembangunan dan sampai sekarang belum selesai. Keluargaku begitu bahagia, itu terlihat dari surat2 yang mereka kirimkan, tak lupa juga ada salam dari ketua RW segala, yang sangat berterima kasih telah menyelamatkannya dari coreng moreng cemooh atas tertunda2nya pembangunan masjid itu.
1 tahun berlalu..........................
Queen's Day, Koningin Dag, orang sini bilang. Semua orang keluar dari rumah, merayakan hari kelahiran ratu. Dan hari ini telah tertradisikan menjadi sebuah pasar terbuka di seluruh pelosok negeri, semua barang2 rumah yang sudah jarang dipakai ataupun sudah tidak dipakai akan dipajang di depan rumah atau di pusat2 kota untuk dijual murah, mungkin bisa dibilang hampir gratis. Rumah jompo tempat aku bekerja berinisiatif untuk menghibur para bewoners* dengan apa yang kami bisa. Aku dan para teman2 sekerja pun mulai berunding, ada yang menginginkan pemutaran film, ada yang drama, ada yang ballet, ada yang ingin diadakan sekedar pesta kecil2an, ada pula yang tidak mau mengadakan acara mengingat kami kekurangan orang.
Tapi akhirnya diputuskan untuk membuat dua acara, ballet dan drama. Hampir semua dari kami diharuskan bermain, bahkan Eric satu2nya laki2 di antara kami pun diwajibkan ikut. Untuk ballet dipilih bagian terakhir dari cerita "Romeo and Juliet" yang mengharukan itu, setelah berdebat seru karena sebagian yang lain ingin "Don Quixote", karena kisahnya lebih heroik. Untuk drama kami memutuskan untuk memainkan "The Inspector-General" sebuah drama komedi ala Rusia. Aneh2 saja memang, ternyata Rusia mempunyai permasalahan yang hampir sama dengan bangsaku Indonesia, penuh dengan pejabat yang korup dan sewenang2, berteriak2 seakan komunis**tetapi berjiwa oligark***. Eric membisiku begitu, setelah melihat aku hanya melongo saja, karena aku tidak tahu apa isi drama Rusia itu.
Aku kebagian peran menjadi Juliet, dan setelah beberapa lama berdebat, Janice kebagian peran Romeonya. Sebenarnya peran itu ditugaskan ke Eric, tapi Eric dengan mentah2 menolaknya, selidik punya selidik, ternyata dia seorang gay, yang mungkin jijik jika berciuman dengan lawan jenisnya seperti aku ini. Rumor itu ternyata benar, Eric yang akrab sekali dengan dunia malam itu, sepertinya sudah bosan dengan perempuan dengan segala tetek bengeknya.
Siang itu pertunjukan begitu meriah, kulihat lagi senyum2 bahagia di antara orang2 tua itu, yang biasanya sehari2 cuma bisa memerintah dan teriak2 minta tolong. Dan pertunjukan balletku sebagai Juliet adalah pertunjukan pamungkas, dengan adegan ciuman Romeo kepada Juliet, Janice menciumku dengan lembut, lembut sekali, getaran yang bertransformasi menjadi sensasi indah. Aku kaget campur bingung, ciuman itu terasa sangat lain. Geletarnya merambat ke seluruh tubuh...., aku sampai meneteskan air mata.
Setelah acara selesai, Janice menghampiriku, menanyakan apakah aku baik2 saja, karena melihat aku menangis tadi. Aku bilang baik2 saja, karena aku menangis bukan karena sedih, tapi karena ada sesuatu yang tak terkatakan dalam ciuman tadi. Janice mengundangku datang ke rumahnya malamnya, sekedar untuk masak bersama dan keluar ke pusat kota untuk sekedar cuci mata.
Sudah agak larut ketika kami pulang dari tempat kerja kami, aku dan Janice yang kebetulan tinggal tidak terlalu jauh pulang bersama2. Dingin musim semi masih semilir menebarkan nuansanya, masih membuat bunga2 sedikit malu untuk menawarkan indahnya. Kami berjalan agak bergegas, diantara gedung2 kuno dan museum yang memang menjadi ciri khas kota yang aku tinggali. Janice berjalan sambil menggenggam tanganku, dingin yang tadi aku rasakan, berubah menjadi hambar atau mungkin netral, aku tidak tahu. Yang pasti aku seperti cawan anggur yang telah kehilangan isinya, berisi partikel2 udara dan siap dimasuki oleh tuangan selanjutnya.
Sekitar jam 7 malam, aku ke dapur untuk memasak. Tak lama kemudian Janice pun datang, dia sudah berpakaian rapi, agak lain dari biasanya. Kami pun masak Tagliatelle*********, salah satu makanan favorit yang hampir disukai semua orang di tempat kerja kami.
Diam2 Janice merangkulku dari belakang dan membisikkan..
"I love you..."
aku segera menyibakkan tangannya, dan berbalik arah.
"Kamu gila ya......" dengan nada ketus aku mengucapkannya, tak tahu apa ada kata lain yang lebih bagus.
"Kebahagiaan orang yang dicintai adalah kebahagiaan orang yang mencintai" dengan tatapan matanya yang nanar ke arahku, Janice dengan geragapan mengucapkan kalimat itu.
Aku terdiam................................................
Kami tinggal serumah sekarang, sedari awal aku sudah berusaha menyembunyikan berita ini. Tapi gosip dengan santernya beredar, apalagi di kalangan kelompok pengajian PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang sering aku ikuti. Aku menjadi terasing di forum yang biasanya syarat pesan2 moral itu. Anggapan bahwa aku seorang lesbi membuat mereka berhati2 terhadapku, dan dari pandangan mata mereka tampak sekali bahwa mereka seakan jijik melihatku. Itupun ditambah dengan sindiran2 halus nan menyakitkan ketika ada ceramah, tentang berbahayanya homoseksual (menyukai sesama jenis kelamin) baik itu gay ataupun lesbi. Bahkan Hasan, yang selama ini sangat dekat denganku, dan aku tahu dia memang menyukaiku, berubah 180% menjadi memusuhiku.
Hatiku hancur, arus yang biasanya ramah kepadaku, kini semakin deras menyeretku dan merobek2 pertahananku dengan pusaran2nya yang dahsyat dan mematikan. Tapi aku berusaha menguasai diriku, apapun yang terjadi, akal harus selalu berada di atas perasaanku. Kala sendiri di rumah dan Janice sedang kerja, aku sering menangis, mengapa Tuhan membalas ketaatanku selama ini dengan perasaan seperti ini. Tapi sekali lagi aku tidak perduli, apakah Tuhan yang katanya penuh cinta itu akan melarang makhluknya untuk mencintai makhluk lainnya walaupun itu sesama jenis. Dan aku tahu bahwa aku tidak sendiri, Janice yang berasal dari keluarga Katolik Ortodoks itupun menghadapi permasalahan yang sama. Keluarganya sangat marah begitu mendengar bahwa kami samen leven, menginjak2 ajaran Bible katanya. Sodom dan Gomora sudah diratakan dengan tanah, karena Tuhan geram atas tindakan penghuninya, dan sekarang anaknya yang melakukan hal yang sama. Tak jauh beda denganku yang dituduh makar terhadap ajaran Al-Quran, melakukan liwath**** dengan terang2an.
Janice sudah mengatakan tentang hubungan kami kepada orangtuanya, dan dia sekarang menuntutku untuk melakukan hal yang sama, liburan summer ini dia ingin aku memperkenalkan dia ke keluargaku. Aku shock berat, tak tahu harus berbuat apa, berpikirpun aku tak berani, aku yang sudah sedemikian terisolir di kalangan sahabat2ku itu, tak mau membayangkan jika juga harus terdepak dari keluargaku yang sangat aku cintai. Sedemikian pedih penderitaanku, dan tidak ada yang bisa aku ajak membagi cerita, apalagi membagi duka. Kalutku semakin memuncak, sampai aku sakit, beberapa hari ini aku tidak masuk kerja. Kadang ada pikiran untuk mengakhiri saja hidup ini, tapi ketika kupikir lagi, bukannya menyelesaikan masalah, malah akan tambah memperparah. Tiba2 ada keinginan untuk memainkan hp-ku, dan mataku terantuk pada sebuah nama, Ahmad, dia yang selalu diam ketika ceramah itu dan seketika berubah menjadi play maker dengan canda dan kata2nya sehabis ceramah. Aku meneleponnya...
"Met Ahmad *****......." terdengar suara merdunya di ujung sana.
"Assalamu alaykum, Ahmad kamu bisa datang ke rumahku sore ini"
"Hhmmm, aku kerja sampai jam 5 sore, gimana klo agak malam, jam 7an gitu, tidak apa2 kan..?"
"Oke deh, klo kamu capek ya jangan, tapi klo tidak terima kasih sekali. Tot vanavond..******"
Ahmad datang tepat waktu, sudah menjadi kebiasaannya, justru karena dia tidak pernah memakai arloji. Gatal katanya kalau pakai arloji, dasar orang kampung hehehe..., tapi konon Ahmad ini pinter, dan religius juga, puasa senin kamisnya gak pernah ketinggalan walau udah lama di negeri orang. Tapi persetan dengan itu semua, mau dia puasa, mau dia sholat, mau dia bajingan, aku tidak perduli, aku hanya ingin curhat. Meminta sekedar pendapat tentang masalahku.
"Tuhan menghukum kaum Luth di Sodom dan Gomora, karena mereka mau melakukan homoseksual itu dengan paksa, dan waktu itu akan dilakukan kepada tamu nabi Luth, sebenarnya jika dengan baik2 dan tidak memaksa, mungkin kejadiannya akan berakhir lebih bagus"
aku kaget bukan alang kepalang, kata2 menyejukkan pertama kali yang kudengar dari orang yang kubayangkan beragama. Setelah aku cerita panjang lebar tentang diriku, aku hanya bisa berharap bahwa Ahmad menasihatiku baik2 bahwa perbuatanku salah dan sebagainya, atau menjelaskan bahwa perbuatanku adalah salah satu mental disorder ( kelainan jiwa).
"APA (American Psychiatric Association) sudah menerangkan bahwa homoseksual bukan kelainan, begitupun WHO. Kita menjadi gay, lesbi, biseks ataupun hetero bisa jadi karena memang dari sananya sudah begitu, naturenya kita sudah diciptakan begitu. Aku sebagai seorang hetero tidak berhak menyalahkanmu atas pilihanmu, karena cinta adalah ungkapan tulus seorang anak manusia, siapapun itu bahkan Tuhan sekalipun tidak berhak melarangmu"
pernyataan keduanya lebih membuat aku kaget lagi, seorang Ahmad yang selama ini diam ternyata menyimpan pernyataan2 toleran dan egaliter semacam itu.
"Tapi aku pernah juga mencintai seorang laki2 Ahmad, aku takut kalau aku mengingkari kodratku" aku masih kurang percaya apa yang dikatakan Ahmad, aku hanya ragu mungkin saja dia hanya ingin mengurangi deritaku dengan ucapan2nya.
"Memang, karena memang homoseksualitas tidak hanya dari nature saja, tapi juga dari nurture, lingkungan yang membentuk kita. Setiap orang bisa berbeda dalam tahap identifikasinya, teman sekolahku, seorang cowok yang sejak kecil tinggal bersama neneknya dan dikasih main boneka2 an akhirnya dia mempunyai sifat gay juga"
Krinnggg....Kringgg...Kringg...........
suara bel dipencet, rupanya Janice sudah selesai kerja. Aku segera bangkit meninggalkan Ahmad dan membuka pintu untuk Janice.
"Goede avond schatje..*******" suara serak Janice langsung keluar begitu pintu terbuka.
"Kom binnen mijn lieveling..********"
Janice langsung mencium aku di bibir. Setelah bibirnya lepas, aku segera ingin memperkenalkan Janice pada Ahmad, Ahmad rupanya agak melengos, mungkin baru pertama kali bagi dia menonton adegan ciuman dua cewek secara langsung di depan matanya, sehingga sifatnya yang malu2 menuntunnya untuk lebih baik tidak melihat.
Setelah perkenalan basa basi, Janice langsung pergi ke kamar mandi, dan aku melanjutkan percakapanku dengan Ahmad di kamar. Aku lebih suka di kamar karena pembicaraan kami memang rahasia, dan Janice tahu itu. Dia tidak cemburu kalau aku memasukkan cowok ke kamarku, tapi kalau cewek, dia pasti akan marah habis2an.
Rupanya dibalik diamnya, Ahmad adalah sahabat yang sangat hangat dan charming, pendengar yang baik dan pengertian. Sehingga dengan itu, aku mendapatkan perasaan untuk bebas mengungkapkan segala keluh kesahku. Akupun cerita panjang lebar tentang masa laluku di pesantren, dimana aku merasa bahwa kehidupanku sangat dikekang. Apalagi kalau masalah cinta2an, menerima surat saja disensor habis2an. Jika tidak dari keluarga, kemungkinannya kecil sekali untuk sampai ke tangan yang dituju. Mungkin aku menikmati hubungan sesama jenis sejak aku di pesantren, karena nafsu yang menggebu dan tanpa ada penyaluran sama sekali walaupun lewat surat, banyak di antara kami yang bercinta di antara kami sendiri. Aku tidak tahu angka pasti berapa yang melakukannya, tapi yang pasti cukup banyak di antara sekitar 3.000 an santriwati yang belajar di pesantren itu. Ahmad masih mendengarkan dengan setia, sambil kadang mengangguk, atau menerawang tak tahu ke mana.
"Struktur dan paham institusi religi memang perlu saatnya banyak dirombak, kejadian yang kamu alami tidak hanya terjadi di pesantren wanita, di pesantren laki2 pun seperti itu, bahkan bukan rahasia lagi banyak pula terjadi di kepastoran atau di paroki, di wihara dan sebagainya, dimana pengekangan seks telah melampaui batas normal."
Lagi2 Ahmad membuatku tersentak, darimana dia tahu kalau kasus homoseksual itu terjadi di banyak lembaga2 suci itu. Jangan2 dia ngarang cerita saja, tapi aku tidak berani bertanya. Sepertinya dia bersungguh2 dengan ucapannya, dan aku tahu dia orang yang tidak suka berbohong.
"Ahmad, Janice meminta aku untuk memperkenalkannya pada keluargaku summer ini, sebagai pasanganku tentunya, karena dia sudah melakukannya pada keluarganya, bagaimana menurut pendapat kamu...? "
" Aku tidak tahu, itu terserah kamu, kalau kamu rasa orang tuamu siap, tidak masalah. Tapi maafkan kalau aku salah, menurut pertimbanganku, bapakmu yang kiai itu pasti akan shock berat. Sebaiknya jangan secara frontal memberitahu hubungan kalian, datanglah dulu apa adanya, biarlah Janice menjadi sedikit bagian dari keluargamu, mungkin kedatangan selanjutnya ketika suasana sudah cukup cair, baru kamu bilang terus terang".
Aku memeluk Ahmad, dia rupanya kali ini yang kaget....
"Terima kasih ya......."
tubuh Ahmad begitu hangat, tiba2 saja aku mengarahkan bibirku ke bibirnya, dia semula mengelak ke belakang, tapi aku segera menarik tubuhnya kembali.
"Kamu gila ya.." bisik Ahmad pelan-pelan.
"Cinta itu tidak sesederhana yang kita rasa" aku kembali memagut bibirnya.
* penghuni panti jompo
** dari kata komunal, mengutamakan kepentingan orang banyak.
*** oligark, seorang yang berjiwa oligarki (pemerintahan berada di sebagian kecil segmen masyarakat)
**** secara harfiah berarti perbuatan kaum nabi Luth, yaitu homoseksual.
***** Dengan Ahmad...., budaya di Belanda ketika mengangkat telpon, langsung menyebut nama.
****** Sampai malam nanti
******* Selamat Malam Sayang
******** Silahkan Masuk Kasihku
********* Sejenis pasta, bisa juga disebut fetuccini
PulanG
Kucium lagi bau tanah kampungku....., perpaduan indah antara bau tanah dan daun2 kering, tanah2 mulai retak menunggu uluran hujan, yah mungkin sudah berbulan2 mendung2 itu hanya berarak2 kesana kemari tanpa mau membagikan rintik2 keindahan dan harapan ke bawah, daun2 mulai mengering, sekering hatiku dulu waktu meninggalkan kampung yang telah membentuk jiwa dan ragaku ini.
Kulihat kanan kiri, tersenyum aku....., wajah2 keriput para tetanggaku ternyata tak kehilangan berjuta keramahan, kerasnya kehidupan yang mereka jalani tak membuat hati mereka ikut mengeras. Kontras sekali dengan kehidupan kota yang baru saja aku tinggalkan beberapa saat, hampir setiap wajah seakan mau menerkamku, mengambil sesuatu yang berharga yang aku punyai. Langkahku semakin kupercepat, kerikil2 kecil sudah menggoda kakiku untuk segera menyambut dan menjemput bulatan dan lancip mereka. Hatiku sudah meluap, mendesis dan meronta, ingin memeluk seseorang yang telah memberi aliran ilham dan cinta kepada seorang aku.
"Assalamu alaykum....." suaraku parau karena agak kehausan.
Seorang perempuan beramput panjang muncul, kulitnya yang sudah kelihatan keriput tampak cerah, aku melihat sejenak matanya mulai berkaca2.....aku berlari ke arahnya....
Tanpa sadar telah terengkuh aku dalam pelukannya, pelukan yang telah menenangkanku selama bertahun2, pelukan yang lebih indah dan lebih nyaman dari pelukan kekasih2ku. Pelukan yang hanya dipunyai oleh sosok perempuan di depanku ini. Wajahku diciuminya hingga tak tak ada sedikitpun bagian yang terlewatkan.
Aku mencoba mengucapkan kata2, tapi tak bisa, ku raih tangan kecilnya, jemarinya yang panjang seperti jari jemariku kucium, lalu aku bersimpuh.................
"Ibu................" suaraku lirih sekali, selirih sewaktu aku masih dalam kandungannya. Aku peluk pinggangnya dan tak terasa butiran air bening mulai keluar dari mataku. Aku seolah kembali dari pengembaraan sangat panjang, badanku lelah sungguh, tulang2 ku sudah mulai kehilangan kerasnya, jiwaku kering dihisap hantu2 kota, aku lelah ibu........
Rambutku diusap2nya, seperti kebiasaannya dulu. Tidak tahu mengapa..., seolah tak mampu lagi aku berdiri, oh siapakah lagi yang akan mengusapku dengan kedamaian surga jika tidak sosok perempuan di depanku ini. Kudongakkan kepalaku, airmata masih membasahi pipinya, kusapukan tanganku di pipinya, kuberdiri dan kumembimbingnya masuk ke dalam. Istana yang terlalu sederhana untuk seorang perempuan mulia ini, suatu saat akan kubangunkan yang lebih sesuai untuk kemuliaanmu bunda....
Kulepas sepatuku, jari2 kaki dan telapakku berteriak2 kegirangan, menemukan kembali kekasihnya yang telah lama ditinggal pergi, dan teriakan2nya semakin keras mengajak aku keluar dan menemui kekasih2nya yang lain. Segera setelah meminta ijin ibu, melesat aku menuju petak2 sawah yang masih berbau daun padi kering yang habis dibakar. Kutarik nafasku dalam2.......kukeluarkan pelan2......kutarik lagi....kuhembuskan lagi.......beberapa saat lamanya aku mengalami 'trance' ......, lepas dari segala beban, aku hilang di tengah teriakan, aku tiada ditengah2 manusia.........
Semilir sang bayu membelai rambut panjangku, membisikkan sedikit asa alam yang masih tersisa, kunaikkan kedua tanganku ke atas mengikuti nafasku, hatiku terpejam dan mataku menembus segala batas....
waktu berhenti, suara2 mulai mati, tubuhku tak bernyawa lagi, jiwaku pergi sejenak menyusuri desiran sunyi, semua bergerak tapi tak menimbulkan bunyi, lepas dan terbang.......sewarna alam, sebiru langit, sedamai jiwa, sesejuk senyum bunda......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar